Kemarin siang,
ketika sedang ngobrol dengan Umi di teras rumah. Beliau bercerita tentang salah
satu episode kehidupanku. Sambil duduk di kursi bambu yang kubeli lebaran tahun
ini beliau bercerita bahwa Abi dan Umi yang saat itu berjualan baso acapkali menaruhku
disebuah kardus ciki (makanan ringan). Sambil mengasuhku yang terbaring umi
melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Mengupas bawang, memotongnya lalu
kemudian menggoreng. Hal ini beliau lakukan agar bisa memenuhi kebutuhan
keluarga disatu sisi dan tetap memberikan perhatian padaku disisi yang
lain.
Ternyata hal diatas
adalah jawaban dari kenapa umi acapkali menimangku dengan sebuah nyanyian;
"dus..dus..kardus,
dus..dus..kardus"
Asbabunnujul dari
lagu itu ternyata terilhami dari kisah nyata.
Aku mengernyitkan
dahi saat itu, seakan mengetahui apa yang ingin kutanyakan, umi meneruskan
kisahnya.
"saat itu
belum ada kereta dorong nak".
Akhir 80-an dan
awal 90-an kampung tempat aku dilahirkan memang masih sangat terisolir dari
hal-hal berbau modern. Listrik saja baru masuk tahun 1988, percis ketika aku
dilahirkan. Pada saat usiaku menginjak 4 tahunan memori di kepalaku masih
mengingat hanya ada dua orang di kampung yang memiliki Televisi, Ma Upik dan
Abah Uja.
Cerita umi kemudian
bergeser pada masalah cinta. Umi menasehatiku bahwa mencintai itu jangan
berlebihan, tapi proporsional. Hal itu beliau sampaikan dalam sebuah kisah
bahwa ketika aku dilahirkan ada semacam over
protektif dari keluarga.
Alasannya sangat bisa diterima. Kakak tertuaku, Siti Maryam, meninggal dunia
ketika usianya belum genap satu tahun. Sedangkan anak kedua,
Abdullah, meninggal dunia di dalam rahim umi. Alhasil aku merupakan
"anak yang sangat diharapkan". Sampai dengan usia kurang lebih 2
tahun aku bolak-balik ke Dokter. seminggu bisa 2-3 kali karena demam.Setelah
itu Umi dan Abi menyerahkanku pada Allah yang mencipta dan menyembuhkan
penyakit. Alhamdulillah sampai dengan detik ini aku jarang sekali terkena
sakit.
Cinta menurut umi
sangat sederhana.
Temukan, yakini,
jaga dan hormati.