Kamis, 30 Januari 2014

Kesederhanaan dari Kompleksitas Do'a


Kemarin siang, ketika sedang ngobrol dengan Umi di teras rumah. Beliau bercerita tentang salah satu episode kehidupanku. Sambil duduk di kursi bambu yang kubeli lebaran tahun ini beliau bercerita bahwa Abi dan Umi yang saat itu berjualan baso acapkali menaruhku disebuah kardus ciki (makanan ringan). Sambil mengasuhku yang terbaring umi melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Mengupas bawang, memotongnya lalu kemudian menggoreng. Hal ini beliau lakukan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga disatu sisi dan tetap memberikan perhatian padaku disisi yang lain. 

Ternyata hal diatas adalah jawaban dari kenapa umi acapkali menimangku dengan sebuah nyanyian;
"dus..dus..kardus, dus..dus..kardus"
Asbabunnujul dari lagu itu ternyata terilhami dari kisah nyata. 
Aku mengernyitkan dahi saat itu, seakan mengetahui apa yang ingin kutanyakan, umi meneruskan kisahnya.
"saat itu belum ada kereta dorong nak". 
Akhir 80-an dan awal 90-an kampung tempat aku dilahirkan memang masih sangat terisolir dari hal-hal berbau modern. Listrik saja baru masuk tahun 1988, percis ketika aku dilahirkan. Pada saat usiaku menginjak 4 tahunan memori di kepalaku masih mengingat hanya ada dua orang di kampung yang memiliki Televisi, Ma Upik dan Abah Uja. 
Cerita umi kemudian bergeser pada masalah cinta. Umi menasehatiku bahwa mencintai itu jangan berlebihan, tapi proporsional. Hal itu beliau sampaikan dalam sebuah kisah bahwa ketika aku dilahirkan ada semacam over protektif dari keluarga. Alasannya sangat bisa diterima. Kakak tertuaku, Siti Maryam, meninggal dunia ketika usianya belum genap satu tahun. Sedangkan anak kedua, Abdullah, meninggal dunia di dalam rahim umi. Alhasil aku merupakan "anak yang sangat diharapkan". Sampai dengan usia kurang lebih 2 tahun aku bolak-balik ke Dokter. seminggu bisa 2-3 kali karena demam.Setelah itu Umi dan Abi menyerahkanku pada Allah yang mencipta dan menyembuhkan penyakit. Alhamdulillah sampai dengan detik ini aku jarang sekali terkena sakit. 

Cinta menurut umi sangat sederhana. 
Temukan, yakini, jaga dan hormati. 


Kamis, 09 Januari 2014

Penulis Pemalas

Kesibukan memenuhi kebutuhan keluarga akhir-akhir ini, membuat aku sedikit "berselingkuh" dari aktivitas membaca dan menulis.
Tapi apakah waktu luang menjadi jaminan bahwa kita akan semakin produktif? Benarkah?.
Bukankan banyak penulis hebat dan produktif adalah mereka yang juga berlelalah-lelah dengan kegiatannya diluar penulis? Apapun profesinya.
Jelas, ini adalah sugesti negatif yang biasa berhembus pada mereka yang amatir sepertiku.
Hah.....doanya kawan, agar terpenuhi kewajibanku, tersyukuri kenikmatanku, tergapai cita-cita baikku dan terkasihi kekasih hatiku.
Semoga penduduk bumi dan langit mengamini segala doa kita

Dialog

"Apakah benar kau mencintaiku?"
"Benar"
"Buktikan!"
"Apakah harus dengan cara seperti ini"
"Tentu saja"
"Kenapa?"
"Cinta perlu bukti!"
"Ini pembuktian?"
"Jelas"
"Aku ragu"
"Kenapa harus ragu?"
"Jelas aku ragu"
"kau ragu pada ini apa hubungan kita?"
"kita"
"kenapa kau berubah?
"bukankah hidup memang perubahan?"
"Tapi ini tentang cinta kita"
"Cinta tak perlu seperti ini"
"Lalu kenapa kau pacaran?"
"......"

Sabtu, 04 Januari 2014

Untukmu Para Penopang Kehidupan


untuk mu yang jadi tulang punggung keluarga,
yang menjadi penolong bagi ibu bapaknya,
yang menjadi sandaran bagi adik-adiknya,
semoga Alloh meletakan sayap malaikat-Nya padamu,
agar bisa menyanggamu dikala letih,
menarikmu ketika terjerembab,
dan membuatmu sejuk ketika keringat perjuangan mmbasahi skujur jasad,
saudaraku..
sungguh tak ada yg tak brmakna,
tak ada yang sia-sia,
maka teruslah berusaha
lillah..fillah..