Rabu, 13 November 2013

Banten dalam Dimensi Sejarah

Banten dalam Dimensi Sejarah
(Sebuah Pembelajaran Penting dari Kampung Budaya untuk Banten dan Indonesia)


Sejarah mengungkap fakta. Sastra, seni dan arsitektur melestarikannya. Dan, setiap manusia mencari kebenarannya. Yulian Firdaus Hendriyana dalam pengantarnya dibuku Gajah Mada: Perang Bubat, karya Langit Kresna Hariadi.”

Penulis didepan spanduk acara Kampung Budaya
Sebagai seseorang yang diberi makan dari nasi yang ditanam ditanah Banten. Aku sempat “murtad” terhadap sejarah di wilayah paling barat di Pulau Jawa ini. Gelar Sarjana Pendidikan Sejarah yang menempel setelah namaku lebih banyak diwarnai dengan riset yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejarah Banten masuk dalam prioritas ke-13 dalam list objek yang harus aku teliti. Seiring berjalannya waktu dan kembalinya jasadku ke bumi Banten. Batin ini ikut terseret untuk kemudian tersentak pada panggilan jiwa untuk memperdalam kembali sejarah dan kebudayaan Provinsi yang pada saat ini genap berusia 13 tahun.
Kesempatan mempelajari lebih dalam tentang Banten aku dapatkan pada kegiatan Kampung Budaya Nusantara yang diselenggarakan pada interval 08-10 November 2013 di Rumah Dunia, Serang. Dalam konteks sejarah, dari kegiatan ini setidaknya aku belajar dua hal, Pertama; Sebagian masyarakat Banten terlena akan romantisme kejayaan kesultanan dimasa lalu. Tentang keagungan Syeh Syarif Hidayatullah, tentang kebijaksanaan Sultan Hasanuddin, tentang kehebatan Sultan Agung Tirtayasa, tentang Indahnya Istana Sorosowan dan tentang makmurnya rakyat Banten tempo dulu. Ya, sekali lagi tempo dulu, “padahal permasalahannya bukan hanya terletak pada apa yang terdapat pada budaya dimasa lalu, tapi juga tentang apa yang harus kita lakukan untuk membangun kebudayaan kita sendiri, saat ini”, tegas Halim Hade, pemerhati sejarah Banten yang mengisi materi pada hari terakhir kegiatan kampung Budaya di Keraton Kaibon, Banten Lama.
Suasana diskusi tentang sejarah Banten
Kedua; Sebagai makhluk yang hidup dalam sebuah ruang kehidupan, maka secara otomatis manusia terikat juga oleh sebuah dimensi waktu. Dengan kata lain dalam menjalankan kehidupannya manusia haruslah melihat dan memperhatikan waktu yang telah, sedang dan akan ia alami kelak. Dengan mempelajari Sejarah Banten ada begitu banyak pengalaman masa lalu yang bisa dijadikan pedoman kehidupan yang berkebudaayan dan keberadaban. Nilai toleransi salah satunya. Bagaimana seorang pendiri kerajaan Banten Syeh Syarif Hidayatullah membangun sebuah Vihara yang bernama Avalokitesvara untuk para pendatang dari China yang memang mayoritas beragama Budha. Perasaan saling menghormati dan menghargai ini masih tetap terjaga bahkan sampai Kesultanan Banten tiada seperti saat ini. 
Peserta Kampung Budaya di Vihara Avalokitesvara
Kegiatan yang bekerjasama dengan Direktorat Sejarah dan Nilai  Budaya, Direktorat Jendral Kebudayan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini sukses membuat para peserta “mendaur ulang” isi kepala mereka dengan pengetahuan dan pemahaman baru tentang menempatkan sejarah sebagai sebuah bagian penting membangun Banten disatu sisi dan Indonesia disisi lain kearah yang lebih baik.
Ingat, belajar memahami Sejarah memang tidak akan merubah masa lalu, tapi bisa memperbaiki masa depan.