Banten dalam Dimensi Sejarah
(Sebuah Pembelajaran Penting dari Kampung
Budaya untuk Banten dan Indonesia)
“Sejarah
mengungkap fakta. Sastra, seni dan arsitektur melestarikannya. Dan, setiap
manusia mencari kebenarannya. Yulian Firdaus Hendriyana dalam pengantarnya dibuku
Gajah Mada: Perang Bubat, karya Langit Kresna Hariadi.”
Penulis didepan spanduk acara Kampung Budaya
Sebagai
seseorang yang diberi makan dari nasi yang ditanam ditanah Banten. Aku sempat
“murtad” terhadap sejarah di wilayah paling barat di Pulau Jawa ini. Gelar
Sarjana Pendidikan Sejarah yang menempel setelah namaku lebih banyak diwarnai
dengan riset yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Sejarah Banten masuk dalam prioritas ke-13 dalam list objek yang harus aku teliti. Seiring berjalannya waktu dan
kembalinya jasadku ke bumi Banten. Batin ini ikut terseret untuk kemudian
tersentak pada panggilan jiwa untuk memperdalam kembali sejarah dan kebudayaan Provinsi
yang pada saat ini genap berusia 13 tahun.
Kesempatan
mempelajari lebih dalam tentang Banten aku dapatkan pada kegiatan Kampung
Budaya Nusantara yang diselenggarakan pada interval 08-10 November 2013 di Rumah
Dunia, Serang. Dalam konteks sejarah, dari kegiatan ini setidaknya aku belajar
dua hal, Pertama; Sebagian masyarakat
Banten terlena akan romantisme kejayaan kesultanan dimasa lalu. Tentang
keagungan Syeh Syarif Hidayatullah, tentang kebijaksanaan Sultan Hasanuddin,
tentang kehebatan Sultan Agung Tirtayasa, tentang Indahnya Istana Sorosowan dan
tentang makmurnya rakyat Banten tempo dulu. Ya, sekali lagi tempo dulu,
“padahal permasalahannya bukan hanya terletak pada apa yang terdapat pada
budaya dimasa lalu, tapi juga tentang apa yang harus kita lakukan untuk
membangun kebudayaan kita sendiri, saat ini”, tegas Halim Hade, pemerhati sejarah
Banten yang mengisi materi pada hari terakhir kegiatan kampung Budaya di Keraton
Kaibon, Banten Lama.
Suasana diskusi tentang sejarah Banten |
Kedua;
Sebagai makhluk yang hidup dalam sebuah ruang kehidupan, maka secara otomatis
manusia terikat juga oleh sebuah dimensi waktu. Dengan kata lain dalam
menjalankan kehidupannya manusia haruslah melihat dan memperhatikan waktu yang
telah, sedang dan akan ia alami kelak. Dengan mempelajari Sejarah Banten ada
begitu banyak pengalaman masa lalu yang bisa dijadikan pedoman kehidupan yang
berkebudaayan dan keberadaban. Nilai toleransi salah satunya. Bagaimana seorang
pendiri kerajaan Banten Syeh Syarif Hidayatullah membangun sebuah Vihara yang
bernama Avalokitesvara untuk para pendatang dari China yang memang mayoritas
beragama Budha. Perasaan saling menghormati dan menghargai ini masih tetap
terjaga bahkan sampai Kesultanan Banten tiada seperti saat ini.
Peserta Kampung Budaya di Vihara Avalokitesvara |
Ingat,
belajar memahami Sejarah
memang tidak akan merubah masa lalu, tapi bisa memperbaiki masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar