Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku Next Station yang saya dapatkan dari kegiatan Jambore Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Indonesia di Rumah Dunia Serang, Banten. Dalam buku catatan perjalanan yang mengambil setting di Singapura dan Malaysia ini saya bergetar membaca tulisan dari salah satu penulisnya, yaitu ibu Ida Fitri Lusiana.
Penulis yang merupakan seorang Kepala PAUD ini menuliskan rangkaian kalimat yang penuh nilai filosopis. Salah satu diantaranya adalah judul tulisan diatas. Saya menyadari bahwa selama ini kadangkala kita menilai baik buruknya suatu budaya dari satu sudut pandang. Padahal jelas cara seperti ini akan mengaburkan nilai-nilai pemahaman dan kepercayaan budaya asal. Belum tentu budaya yang dianggap rendah dari satu budaya dianggap seperti itu oleh penganutnya. Pun sebaliknya. Sebagai contoh budaya makan menggunakan jari tangan tidak bisa disebut lebih rendah oleh orang-orang yang berbudaya memakai sendok dan garpu.
Epilog dari ini semua adalah kita harus belajar bagaimana sebuah budaya terbangun dari sebuah masyarakat dan tidak memaksakan dan memberikan komentar terhadap budaya itu sebelum kita faham dan meletakan diri kita tidak hanya sebagai orang luar tapi juga bagian dari orang yang melakukan budaya yang bersangkutan. Sebagaimana yang dituliskan oleh Khefti (2013) bahwa tinggi rendahnya nilai pada suatu budaya bukan lantas budaya yang satu lebih baik dari pada budaya yang lain, karena baik tidaknya suatu kebudayaan hanya orang-orang di dalam kebudayaan itulah yang tahu.
rosyad_elbantani
Membaca adalah cara lain keliling dunia. Sementrara traveling akan membuat kita kaya, semakin banyak tahu dan semakin bijak... dan setiap kali aku lihat budaya baru, cuma bisa bilang 'waw!' tanpa penghakiman.
BalasHapusteria kasih bunda Nurul Noe atas komentar cetar membahana badai berkilauan diatas samudra kehidupannya.
BalasHapushe...
tapi terima kasih sudah berkunjug ke pemain baru di dunia Blog
membaca, berjalan dan menulis jika dikolaborasikan itu adaah keindahan
BalasHapus