Qurais
Syihab pernah menyebutkan bahwa Indonesia laksana Zamrud di Khatulistiwa.
Multatulipun pernah menggambarkan bahwa negeri ini layaknya sekeping tanah
surga yang dihamparkan dipersada nusatara. Layaknya surga yang berjumlah lebih
dari satu, ada banyak pulau di Indonesia yang dijuluki sebagai surga. Sebut
saja Bali, Lombok dan juga Kepulaun Riau. Maka sayapun tak ragu manakala
menjuluki Pulau Umang- umang dengan sebutan surga.
Pulau
kecil berukuran kurang lebih empat kali lapangan basket ini termasuk
kedalam kawasan Kepulauaun Sebesi –
Sebuku, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Dengan jarak kurang lebih dua mil
dari Pulau Induk (Sebesi), kita akan dengan mudah mencapainya. Jika bertolak
kesini, umumnya wisatawan akan diturunkan oleh awak kapal disebelah barat daya
pulau. Disudut ini kita akan disambut dengan hamparan batu karang kecil
berwarna abu dan putih. Kapal sendiri tidak akan merapat sepenuhnya ke bibir
pantai karena hamparan karang halus tadi bisa jadi akan menggores lambung kapal
dan membuatnya bocor. Konsekuensinya, kita harus turun menggunakan tangga dari
tali atau kayu untuk langsung berbasah ria dengan lautan. Saran saya, sebaiknya
anda menggunakan sandal, karena karang kecil tadi cukup tajam. Tentu akan
menjadi hal yang merepotkan kalau kaki kita terluka dan tercampur dengan air
laut yang mengandung garam, perih bukan main.
Ekplorasi
pulau bisa kita lakukan dengan cara memilih salah satu dari dua rute yang
tersedia. Kearah kanan untuk kemudian menuju ke selatan atau kesebelah kiri ke
arah barat. Saran saya anda sebaiknya mengambil rute kearah selatan terlebih
dahulu. Agar diakhir perjalan, kita bisa bersantai dibagian utara atau barat pulau yang didominasi pasir
putih dan batu hitam yang menjulang tinggi . Saya sendiri ketika mengunjungi Pulau
ini bersama 50-an orang yang merupakan rombongan dari peserta Krakatau Writing Camp (KWC) yang diselengggerakan
Rumah Dunia. Sebuah komunitas literasi di daerah Serang, Banten.
Setelah
menikmati wilayah selatan pulau yang didominasi dengan pohon-pohon dengan akar besar
yang mencuat kearah lautan, kita bisa bergerak kearah timur. Disini terdapat
hamparan batu berwana abu kehitaman. Teksture, bentuk dan susunannya akan
mengingatkan kita dengan Pantai Tanjung Tinggi yang ada di pulau Belitong yang
mahsyur itu. Bagi anda yang pernah melihat film Laskar Pelangi garapan Riri
Riza yang diadaptasi dari novel Andrea Hirata dengan judul serupa tentu tidak
asing denga scane yang memperlihatkan
batu-batu granit sebesar garasi mobil yang berserakan begitu saja di lepas
pantai. Di Umang-umang kita akan
medapatkan pemandangan seperti itu. Tentu dengan sensasi dan karakeristik yang
berbeda, ukuran dan jumlah batu itulah yang membedakan keduanya.
Jika
punya nyali dan nekat kita bisa merasakan sensasi menaiki batuan-batuan itu.
Namun harus diwaspadai, bahwa beberapa ular laut kadangkala “berbulan” madu di
sela-selanya. Terkecuali anda pawang ular atau setidaknya anak pawang ular.
Saya sarankan teman-teman untuk mengingat tag
line sebuah iklan minyak kayu putih yang sedikit saya modifikasi: “untuk nyawa
ko coba-coba”.
Bergerak
melawan arah jarum jam ke arah utara kita akan dimanjakan dengan pasir putih
yang bersih dan halus. Saya yang saat itu sedang mabuk laut dan masuk angin
karena memakai pakaian basah selama tiga jam seketika termanjakan dan
mendapatkan penawar yang luar biasa manjur. Pantai ini bersih, imut dan
mempesona. Jarak antara garis pantai yang bersentuhan dengan air sampai dengan
semak belukar khas pantai dibelakangnya kurang lebih seratus langkah kaki
laki-laki dewasa. Ada beberapa batang pohon tua yang bisa kita jadikan sebagai
tempat duduk. Sebagian akarnya masih tersisa. Mencuat semaunya kesemua arah.
Artistik sekali, apalagi jika anda ditemani orang yang anda sayangi. Maka itu
akan jadi moment yang pas untuk dikenang dan terkenang sebagai fase manis kehiduapan anda.
Pada
saat weekend biasanya kita akan
bertemu dengan wisatawan mancanegara yang berlibur. Jeany adalah salah satu
turis yang saya ajak bicabera. Dia adalah seorang mahasiwa yang mendapatkan
tugas sekaligus berlibur di Indonesia. Perawakannya tinggi besar. Dengan rambut
pirang menyala dan bola mata berwarna biru, jelas darah Arya mengalir dalam
tubuhnya.
“im
from Germany”. Terang Jeany menyebutkan dari mana dia berasal.
Aku
yang yang memang membutuhkan native
speaker untuk menguji dan melatih bahasa Inggrisku cukup excited ketika mengobrol dengan dirinya.
Saat itu disamping bule berambut pirang ini terdapat teman satu kuliahnya. “dari
Belanda”, ucapnya, memberikan penjelasan kepadaku.
Tidak
heran memang turis lokal dan luar negeri selalu membanjiri kawasan pulau Umang-umang
disetiap sabtu dan minggunya. Terutama pada saat sore menjelang malam seperti
yang saya lewatkan. Diantara tumpukan batu yang menjulang angkuh diatas pasir
Umang-umang seakan menyambut datangnya malam dan menyanyikan sebuah lagu
romantis untuk mentari yang telah bersedia menemani obrolanya dihari itu.
Nuansa romantis, sendu, tenang dan melankolis memang menjadi atmosfer yang
menyelubungi siapa saja yang berada disini.
Menjelang
malam, saya dan kawan-kawan bergegas segera meninggalkan pulau. Ada sedikit
perasaan tak rela sebenarnya. Saya sempat ingin meminta kepada pantia KWC untuk
setidaknya memberikan waktu kepada kami untuk bisa menikmati malam dan
kehangatan api unggu disini. Namun, awak kapal berteriak memanggil kami untuk
segera menaiki pulau. Aku mati kutu, tak mungkin kami menolak ajakan penduduk
Pulau Sebesi ini. Ditinggal dipulau ini tanpa kawalan pribumi dan sarana
transportasi sama saja menggadaikan nyawa kami pada lautan.
Rasa
kesal dan kecewa karena tak bisa menikmati suasana malam di Umang-umang
perlahan menguap manakala aku menyadari fakta bahwa permukaan air lebih tinggi
dibandingkan pada saat kedatangan kami beberapa waktu lalu. Aku baru meyadari
teori angin darat dan laut yang pernah dipelajari masa sekolah dulu. Menjelang
malam seperti ini angin akan berhembus dari daratan untuk kemudian bercumbu
dengan laut lepas. Tak heran jika nelayan mengangkat sauh untuk mencari ikan
pada malam hari. Tentu angin darat akan membantu mereka menyeberangi lautan.
Lain halnya dengan kami. Karena pulau induk yang menaungi Pulau Umang-umang ini
adalah Sebesi maka serta merta ketika malam datang angin akan datang dari pulau
itu dan menantang kapal kami yang justru akan menuju tempat dimana angin itu
berasal!.
Aku
berfirasat buruk. Rasanya ada hawa tak enak yang aku rasakan. Sambil menjinjing
sandal dan memegang tali sauh kapal aku dan teman-teman mulai menaiki kapal.
Air hamper sedada. Jika tinggi badanku kurang dari 165 cm, kata “tenggelam”
mungkin akan mampir dalam catatan perjalanan yang akan kubuat nanti. Ternyata,
kata “tenggelam” tak sepenuhnya menguap. Korbannya saja yang berganti nama.
Annisa, kawan seperjalanku di acara ini tenggelam dengan beberapa gadis lain
karena terhempas ombak diantara dua kapal yang kami pergunakan untuk kembali ke
Sebesi. Angin berhenti, ombak diam, semua mulut ternganga!! Dua detik kemudian
setiap orang dari kami baru bisa mempergunakan saraf motorik yang beberapa saat
lalu tak sinkron dengan saraf sensorik yang ada di otak. Lima sampai tujuh
orang segera terjun ke air, salah satunya Bang Ayyub Fotografer dari medan.
Sepuluh
menit kemaudian kami sudah berada diatas kapal dengan selamat. Tak ada yang
kurang satu apapun. Annisa dan beberapa kawannya masih terlihat shock. Aku bermunajat pada Allah. Betapa
kita bukan siapa-siapa dibalik ke Maha Besaran dan Perkasaannya. Aku pun
teringat kata-kata Khalid Khussaeni dalam buku Kite Runner yang tempo hari aku baca, “Khawatirlah dengan
kesenangan, karena biasanya orang yang terlampau senang tanda dirinya akan
segera menghadapi kesedihan”. Lagi-lagi aku beristighfar. Aku menyesal sudah
terlalu terbawa euforia dan melupakan untuk mengazamkan niat untuk melakukan
shalat maghrib. Walau akan di-jama’
taqhir dengan shalat Isya, guru fikihku selalu mengajarkan untuk menekadkan
terlebih dahulu bahwa kita akan melaksanakan shalat maghrib. Tidak semua
kesenangan memang harus kita ikuti, karena ada sebagian kesenangan merupakan
kesedihan yang menggembirakan.
Umang-umang,
kau tidak hanya sekeping tanah surga yang terhampar di persada Selat Sunda.
Lebih dari itu kau berhasil mengingatkanku dan menegurku agar lebih dekat pada
Dia yang mencipta dan memiliki surga.
waww... heu jadi berasa kangen pingin ke sana lagi...
BalasHapus