Kamis, 03 April 2014

Perbincangan dengan Mayor (Purn) Oetarjo di Yayasan 25 Januari 1946

Pada bulan September 1946 Kapten Oetarjo (tanda X) menerima kedatangan Kolonel M.Simbolon dan Let.Kol Kartawirana di lapangan terbang Kemayoran jakarta. Kedatangan kedua perwira dari Sumatera ini dalam rangka perundingan militer menjelang gencatan senjata Indonesia-Belanda pada bulan Oktober 1946.
 (Sumber: 
http://sejarahkita.blogspot.com/2011/10/mayor-oetarjo-telah-tiada.html)
Kisah ini sebenarnya sudah sangat lama, tapi belum sempat saya tulisakan. Kisah tentang sosok seorang pejuang yang membaktikan diri untuk bangsa dan negara. Kamis, 14 Oktober 2010, saya sempat berbincang dengan Mayor (Purn) Oetarjo di Yayasan 25 Januari, Jakarta. Selidik punya selidik, menurut Sejarawan Rushdy Hoesein, Perwira ini pernah bertugas  tahun 1945-1947 pada Kantor Penghubung Tentara jalan Cilacap Jakarta. Kemudian sempat pula bergerilya di Sumatera pada sekitar tahun 1948-1949 dengan jabatan Kepala Staf sub. Ter 7 Tapanuli dibawah panglimanya Alex Kawilarang. Dalam pertempuran sengit di sektor 3 dia tertembak dan tertawan. 
Ada banyak hal yang saya peroleh dari perbincangan selama kurang lebih dua jam itu. Salah satu diantaranya adalah manakala kakek  yang saya taksir berusia 90 tahunan itu berkata dengan tegas:
"Kamu harus tau dan sadar, bahwa orang indonesia itu tidaklah bodoh!!! Sebalikya jika melihat lebih dalam orang Indonesia itu sangatlah pintar"

Saya masih ingat betul beliau sangat ekpresif. Suaranya lantang, matanya tajam dan tangan kanannya sedikit terangkat. Beberapa saat saya sempat berfikir bahwa tentara tua ini akan menggunakan tangan rentanya untuk mencekik. Aku salah terka, ternyata tangan yang tak lagi kokoh itu membentuk sebuah kepalan tinju. Saya baru memahami bahwa ia  mencoba membuat gesture yang bisa menguatkan pernyataannya tadi. Beliau mencoba meyakinkan saya untuk optimis dan tidak malu menjadi orang Indonesia. Menurutnya, ketertinggalan yang bangsa ini alami saat ini bukanlah disebabkan karena kebodohan bawaan, tapi lebih karena ketidakmampuan memanfaatkan potensi sumber daya manusianya. Sebagian dari hal itu disebabkan karena sifat fesimis, minder dan rendah diri sehingga merasa dirinya akan kalah sebelum bertanding. Sifat-sifat seperti itu, menurutnya harus sesegera mungkin dihilangkan. Optimisme adalah modal awal bagi seseorang untuk maju.

Tak sempat saya bertanya atau berkomentar, mulutnya sudah mulai bercerita kembali. Beliau membeberkan bagaimana situasi Indoneia pada masa itu yang digambarkan sebagai kondisi no war no peace dengan pihak Sekutu, dalam hal ini Inggris. Situasi damai yang sebenarnya hanya kamuflase dari kata bersiap perang, dimana segala sesuatu harus dijalankan dengan cepat, tepat dan tegas. Tak ada kata santai atau berleha-leha. Segalanya harus disusun dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Tentara tidak tahu pasti mana kawan mana lawan.  Sungguh hal itu dijalankan oleh rakyat Indonesia dengan tabah dan semangat menggelora.
Tak lama, laki-laki berambut putih ini kembali menyembur; 
"Seseorang tidak akan pernah bisa maju jika tidak memiliki kepekaan terhadap sejarah. Orang yang tidak peka terhadap sejarah berarti orang tersebut tidak mengetahui jati dirinya. Bagaimana mau memajukan diri jika kita tidak mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya"

Sungguh sebuah pertemuan yang sangat berkesan. Sayang Foto kami berdua file-nya hilang. Dalam hati saya sangat berharap bisa memenuhi undangan beliau untuk silaturahim ke Karawaci, tempat dimana dirinya tinggal. Belum sempat niatan itu terpenuhi, satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Oktober 2011 jam 11.45 Mayor Oetarjo meninggal dunia.  Beliau dimakamkan di TMP Kalibata satu hari kemudian. 

Terima kasih atas perjuangannya, atas dedikasinya, atas kepeduliannya, atas keramahannya, atas bantuannya dan atas segalanya yang bapak berikan untuk bangsa ini. Semoga Allah menerima amal kebaikan bapak dan mengampuni segala kekhilafan yang pernah dilakukan. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar