Kamis, 15 Mei 2014

Ifa dan Hasan #Part 1

#Ifa 
Suara itu memaksaku  membuka mata. Tepat ketika aku mengerjap untuk kedua kalinya, sosok itu sudah berdiri di hadapanku. Aku tak begitu terkejut. Namun pria yang bekerja di bagian restorasi itu tampak mengernyitkan kening sesaat. Aku menangkap rasa terkejutnya ketika menatapku. Tidak lama memang. Namanya Hasan. Aku membaca itu di kemeja birunya ketika kami bersitatap. Hasan, dengan keramahan petugas restorasi yang baru dilatih, berujar padaku, "Pesan makanannya, Mbak? Kalau pesan makan nanti tidurnya bisa nyenyak lho, Mbak!" Aku tersenyum saja mendengar ujarannya, sembari menggelengkan kepala. Hasan tak menuliskan apa-apa di notes kecilnya. Rekannya membawa baki yang berisi empat piring nasi goreng. Jelas belum ada yang memesan makanan pada mereka. Naga besi yang kunaiki hampir menempuh setengah perjalanan. Hasan dan rekannya sudah melangkah ke gerbong lain. Aku mencoba menutup mata kembali.


#Hasan
Lencana kugosok, seragam kurapihkan dan sedikit parfum beraroma melon tak lupa dioleskan dikiri kanan tanganku. "15 ribu aja kang". Itulah ucapan pak wawan dua hari lalu. Pedagang di depan masjid Raya Kota Bandung. Dia menjelaskan harga barang jualannya yg kini ada disaku kiri celanaku.
"Bismillah, disini pasti aku berjodoh". Ucapku dalam hati. Sambil menyungging senyum dan tatanan rambut klimis "belah" ke kiri. Dandananku tak jauh beda dengan David Beckam  pada
pembukaan Olimpiade London tempo hari.
 "Bismillah, disini aku pasti berjodoh". Langkah kedua kakiku tegap penuh percaya diri,
diiringi suara gemuruh orang-orang disekitar dan puluhan mata yang memandang membuat aura superstar semakin kentara. Bismillah, disini aku pasti berjodoh". Namun, satu sosok mengacuhkan diriku.
Ekspresinya datar dan matanya tertutup. Wow, dia tak terpengaruh kedatangan orang penting nan ganteng!!!
Sedikit kaget akan respons yg tak terduga, kucoba cara lain.
"Ehm...ehm...".Jurusku keluar.
Matanya terbuka, menatap 45 derajat kearah wajah, turun 10 derajat ke arah dada .
"Nasi goreng Mba? Biar nanti tidurnya lebih pulas", ucapku.
Dan….

tik...
tik...
tik...
tik...
tik...
tik....
tik...

tujuh detik kemudian matanya tertutup kembali. Hah, gerbong ini ternyata bukan jodohku. Tak ada satupun yang mau dan berminat membeli nasi goring yang aku dan temanku bawa. Jurus tebar pesona yang terbungkus senyum palsu ternyata tak mempan untuk berdagang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar