Kamis, 15 Mei 2014

Ifa dan Hasan #Part 4

#Ifa

Suara BoA mengalun dari ponsel mengagetkanku. Panggilan dari Makruf, atasanku. Suara bas nya langsung terdengar begitu sambungan telepon itu kuterima. Panggilan tugas. Oo, tega sekali si Makruf! Belum sempat kurebahkan tubuh lepas menunaikan tugas liputan di Cirebon, ia sudah mengajukan tugas baru padaku! Malas, kudengarkan saja ocehannya itu sementara aku menghidupkan layar kaca.
Wajah kuyu seorang reporter langsung menyapaku. Sebuah breaking news. Sementara Makruf masih berkicau di ujung sambungan telepon dan reporter itu terus membacakan berita terhangat, aku melayangkan pikiran.
Hasan. Aku melihatnya beberapa kali sebelum hari ini. Semenjak aku ditugaskan menulis sejarah & budaya Cirebon beberapa pekan lalu, aku sering pulang-pergi Bandung-Cirebon. Isu tentang pemekaran wilayah Cirebon dan beberapa kabupaten di sekitarnya menjadi provinsi baru rupanya menarik bagi Makruf. Aku ditugasinya menganalisis kabupaten yang secara kultural berbeda dengan induk provinsinya. Dan Hasan, dalam setiap perjalanku menggunakan Ciremai Ekspres, selalu datang mengusik waktu istirahatku.
"... dan pemirsa, polisi telah memasang garis polisi di lokasi meledaknya bom rakitan di Jalan Balong Gede Bandung. Saat ini evakuasi terhadap para korban tengah dilakukan..." 
Bertepatan dengan kamera yang melakukan zoom-in, kesadaranku kembali. Dalam dua detik sorotan kamera itu, kutangkap bayangan sosok yang tadi hinggap dipikiranku. Kemeja biru cerahnya tertutup abu hitam, di wajahnya ada bercak darah. 
"Hai Ifa! Kamu dengar aku tidak?! Cepat ke Balong Gede! Berikan aku berita!"

Aku terpaku. Hasan?

#Hasan

Kabutkah dia? Aku tak yakin. Bagaimana mungkin ia begitu nyata?. Ataukah kamuflase ketakutan yang menjelma bak cendawan dimusim hujan? Menjamur dan melebur dalam ketidakberdayaanku pada mahkota takdir?
Sungguh hina, sungguh gembira. Aku terpekur dan bersyukur atas kemurahan tuhan pada ragaku, pada jiwaku, pada nafasku, pada hidupku dan kemaha lemahanku. Aku meronta dalam asa dan tak berdaya dalam nyata.
“sudah baikan de?”.
Oh inikah sosok penghampun syurga, penjaga pintu ruhaniah?
“De, bisa dengar suara saya?”
Tidak, bukan dia. Tapi apa? Tapi Siapa?
“Untung selamat, kalau saja ade tetap didalam mobil itu, mungkin ceritanya akan lain”.
Oh Zat penggenggam jiwa, yang hidup matiku ada pada kekuasaan-Nya. Sungguh aku bersyukur atas apa yang menimpaku. Betapa aku masih diberikan kesempatan bernyawa sampai saat ini. Agar tertebus dosa-dosaku, terusahakan cita-citaku dan tercintai kecintaanku.
Tapi siapa lelaki itu? Yang memanggilku disaat-saat kritis? Jika saja bukan karena panggilannya. Aku mungkin akan bernasib sama dengan penumpang lain yang berada di dalam angkot. Gosong terbakar!!.
Segalanya memang berjalan cepat laksana role film manual yang diputar di bioskop. Tanpa istirahat dan tanpa jeda. Tak lama setelah aku keluar dari angkot dan menuju sosok yang memanggilku di seberang jalan, ledakan itu terjadi. Aku tak sempat mengenali laki-laki berwajah sendu bertopi coklat itu. Sama halnya seperti aku tak sempat menghindari tiang kabel telpon berwarna hitam yang “mencium” kepalaku. Daya dorong hempasan dan efek dari ledakan mobil itu membuat tubuh kurusku terpental sejauh tiga meter. Terbang tak terkendali layaknya layang-layang dipermainkan angin sore dibulan Desember. Aku masih sadar ketika suara rintihan minta tolong para korban dan derap langkah orang-orang mendekati tempat kejadian. Suara sirine yang mengaung, jeritan pejaga toko, tangisan ibu-ibu dan segala macam suara yang secara frekuensi bisa tertangkap telinga manusia, bersatu membentuk sebuah simfoni yang rumit. Semuanya mengalun, menghentak dan menyuarakan satu nada diujung lagunya; Panik.
Aku beruntung, walau kepalaku berdarah, siku tangan kiri terpelintir dan perut serta kakiku ngilu, aku selamat. Karunia Allah kurasakan betul saat itu. 15 menit setelah kejadian sudah banyak orang yang berdatangan. Termasuk beberapa wartawan yang bisa dikenali dari kartu pengenal yang mereka kenakan. Adakah Ifa disana? Salah satu jurnalis yang aku kagumi. Liputan dan artikelnya selalu manarik dan dalam, berisi tapi mengalir, tajam tapi tidak menggurui. Aku yang kuliah jurusan jurnalistik sangat ingin tahu seperti apa sosok wanita ini. Kalau tidak gugup, aku mungkin akan meminta tanda tangannya jika bersua nanti, ha…ha… Sempat-sempatnya aku berfikir kocak seperti itu ditengah-tengah musibah yang menimpa diriku. Khayalanku tentang Ifa kemudian kabur, samar dan abu-abu. Ternyata bukan Ifa, tapi kesadarankulah yang menghilang. Mobil putih bergaris merah adalah ingatan fotografi terakhir yang kuingat pada peristiwa di jalan Balong Gede. Setelah itu semuanya hitam dan tak tersadarkan sampai aku kembali terbangun saat ini. Lagi-lagi dengan nuansa putih yang menyambut, Rumah Sakit.
Bayangn Ifa menguap, aku penasaran dengan laki-laki yang memanggil dan memintaku keluar dari angkot.

“Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia
ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang
dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari,
rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang
diciptanya sendiri….
Siapakah… lelaki… itu? Di…di… mana… dia?"
Aku teringat tulisan Helvy Tiana Rosa. Oh…Pertanyaanmu dan pertanyaanku serupa mba!!
Siapakah… lelaki… itu? Dimana… dia?

Ifa dan Hasan #Part 3

#Ifa

Bandung malam hari. Kata orang, udara Bandung makin hari makin pengap dan panas akibat perusahaan otomotif yang ingin meraup keuntungan dari angka produksi kendaraan yang selalu
meningkat. Bagiku, udara Bandung tetap selalu membuat bulu kudukku berdiri, dingin hingga menyusup ke tulang. Hanya ada dua orang yang duduk dalam angkutan kota berwarna ungu ini. Keberadaan penumpang yang hanya dua orang ini seolah menjadi alasan bagi sang supir untuk melajukan mobil pabrikan Jepang ini dengan kecepatan maksimum. Hingga melewati Unisba, tak kunjung ada penumpang lain yang turut serta. Si supir mulai putus asa.

#Hasan

Aku masih terdampar diangkot depan warung Bu Imas. Salah satu tempat kuliner terkenal di kota Bandung. Warung yg tak pernah sepi peminat. Begitu hasil pengamatanku. Padahal disekitaran jalan Balong Gede saja, tempat warung ini berada, setidaknya ada empat bangunan berwarna kuning dan bertuliskan nama Warung Bu Imas didepannya. Dan empat-empatnya selalu ramai pembeli. Aku sendiri pernah dua kali makan siang di tempat ini. Kesimpulannya; Maknyuus.
 Maka, jika ke Bandung dan tidak mampir kewarung Bu Imas rasanya sangat disayangkan. Angkot Kalapa-Dago yg kunaiki sudah 20 menit nongkrong di jalan Balong Gede. Lewat pukul 21. 00. Mobil menuju terminal Dago di ujung jalan Ir. H. Juanda memang kurang semarak. Hal ini bisa dimaklumi karena toko-toko pakaian yg berderet disepanjang jalan Dewi sartika yg menghubungkan Masjid Raya Bandung dengan terminal Kalapa sudah mulai sepi. Penumpang baru akan ramai ketika memasuki lampu merah di depan Bandung Indah Plaza. Jam segini, pusat keramaian Bandung memang akan beralih ke kawasan Bandung Utara. Disana ada banyak tempat nongkrong yang asyik. Dago Plaza, bukit bintang, Resor Dago, Setia Budi dan Lembang adalah sebagaian dari destinasi favorit menghabiskan malam. Ban mobil angkot baru akan berputar, ketika suara di sebrang jalan memanggilku.
"Hasan...hasan....Turun!!"

Ifa dan Hasan #Part 2

#Ifa

Stasiun Padalarang. Setidaknya tinggal satu stasiun lagi sebelum aku menghirup kembali udara
Bandung. Sama sepertiku yang mulai terjaga, penumpang lain kembali menikmati perjalanan. Ada gairah yg tampak dari wajah-wajah mereka. Ya, kami akan menyesap manisnya Kota Kembang. Beberapa petugas restorasi melintas. Yang perempuan, sudah pias riasan wajahnya sementara yang laki-laki, lipatan kemejanya tak lagi licin. Mereka menghampiri satu persatu kursi, mengecek  tagihan para pemesan makanan. Dari lakunya, mereka terlihat lelah. Bagaimana tidak? Subuh tadi mereka sudah meninggalkan peraduan. Tiga kali sudah mereka bergerak bersama gerbong, dari Cirebon ke Bandung kemudian kembali ke Cirebon dan kini mengarah ke Bandung. Masih tersisa satu perjalanan lagi setelah kereta menepi di Stasiun Bandung. Tapi, di mana Hasan, lelaki muda-belia berseragam biru dengan senyum artifisial itu?

#Hasan

Suara azan membahana. Memanggil setiap jiwa yg terpanggil dan menggetarkan setiap manusia yang terpencil. Suaranya sendu namun merdu. Bersayap namun menyayat. Aku selalu suka muadzin di Masjid Raya Bandung. Tempat ibadah yang menjadi kebanggaan dan pengukuhan Islam di  Jawa Barat. Manusia mengular, berbaris satu persatu untuk berwudlu. Kusandarkan kakiku di pilar masjid lantai satu, lelah.
"Hayya 'alalfalaah, hayya 'alalfalaah". Seruan muadzin menyeretku kemasa lalu. Masa
dimana.aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku, Tangerang. Saat itu adalah
masa yg sulit. Teman SD, sahabat SMP dan gank SMA mengungkapkan kata yg seragam,
 "Kamu akan kesulitan di Bandung".
 Namun, restu orang tua adalah tiket yg bisa melegalisasi rencanaku, merantau. Ya..Kini, diantara pilar-pilar kokoh Masjid terbesar di Kota Bandung aku menyeret ragaku demi sebuah perantauan itu. Bekerja sebagai pramusaji Kereta Api Bandung-Cirebon.
"Laa ilaaha illallah". Adzan berakhir, aku bergegas berdiri. Kakiku lemas karena bekerja seharian. Jika seperti ini aku sering mengingat kata-kata Imam Syafi'i yg kupelajari ketika mengaji di surau Haji Lomri di samping rumahku.
"Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Pergilah, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat
dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang".
Aku menangis, tiba-tiba bayangan kedua orang tuaku terpantul dilangit-langit masjid.
Rabb, jadikan aku pengembara yg menemukan arah tujuannya dan bukan tersesat dalam nafsu serta kebodohannya.


Ifa dan Hasan #Part 1

#Ifa 
Suara itu memaksaku  membuka mata. Tepat ketika aku mengerjap untuk kedua kalinya, sosok itu sudah berdiri di hadapanku. Aku tak begitu terkejut. Namun pria yang bekerja di bagian restorasi itu tampak mengernyitkan kening sesaat. Aku menangkap rasa terkejutnya ketika menatapku. Tidak lama memang. Namanya Hasan. Aku membaca itu di kemeja birunya ketika kami bersitatap. Hasan, dengan keramahan petugas restorasi yang baru dilatih, berujar padaku, "Pesan makanannya, Mbak? Kalau pesan makan nanti tidurnya bisa nyenyak lho, Mbak!" Aku tersenyum saja mendengar ujarannya, sembari menggelengkan kepala. Hasan tak menuliskan apa-apa di notes kecilnya. Rekannya membawa baki yang berisi empat piring nasi goreng. Jelas belum ada yang memesan makanan pada mereka. Naga besi yang kunaiki hampir menempuh setengah perjalanan. Hasan dan rekannya sudah melangkah ke gerbong lain. Aku mencoba menutup mata kembali.


#Hasan
Lencana kugosok, seragam kurapihkan dan sedikit parfum beraroma melon tak lupa dioleskan dikiri kanan tanganku. "15 ribu aja kang". Itulah ucapan pak wawan dua hari lalu. Pedagang di depan masjid Raya Kota Bandung. Dia menjelaskan harga barang jualannya yg kini ada disaku kiri celanaku.
"Bismillah, disini pasti aku berjodoh". Ucapku dalam hati. Sambil menyungging senyum dan tatanan rambut klimis "belah" ke kiri. Dandananku tak jauh beda dengan David Beckam  pada
pembukaan Olimpiade London tempo hari.
 "Bismillah, disini aku pasti berjodoh". Langkah kedua kakiku tegap penuh percaya diri,
diiringi suara gemuruh orang-orang disekitar dan puluhan mata yang memandang membuat aura superstar semakin kentara. Bismillah, disini aku pasti berjodoh". Namun, satu sosok mengacuhkan diriku.
Ekspresinya datar dan matanya tertutup. Wow, dia tak terpengaruh kedatangan orang penting nan ganteng!!!
Sedikit kaget akan respons yg tak terduga, kucoba cara lain.
"Ehm...ehm...".Jurusku keluar.
Matanya terbuka, menatap 45 derajat kearah wajah, turun 10 derajat ke arah dada .
"Nasi goreng Mba? Biar nanti tidurnya lebih pulas", ucapku.
Dan….

tik...
tik...
tik...
tik...
tik...
tik....
tik...

tujuh detik kemudian matanya tertutup kembali. Hah, gerbong ini ternyata bukan jodohku. Tak ada satupun yang mau dan berminat membeli nasi goring yang aku dan temanku bawa. Jurus tebar pesona yang terbungkus senyum palsu ternyata tak mempan untuk berdagang.