Suara BoA mengalun dari ponsel mengagetkanku.
Panggilan dari Makruf, atasanku. Suara bas nya langsung terdengar begitu
sambungan telepon itu kuterima. Panggilan tugas. Oo, tega sekali si Makruf!
Belum sempat kurebahkan tubuh lepas menunaikan tugas liputan di Cirebon, ia
sudah mengajukan tugas baru padaku! Malas, kudengarkan saja ocehannya itu
sementara aku menghidupkan layar kaca.
Wajah kuyu seorang reporter langsung
menyapaku. Sebuah breaking news. Sementara Makruf masih berkicau di ujung
sambungan telepon dan reporter itu terus membacakan berita terhangat, aku
melayangkan pikiran.
Hasan. Aku melihatnya beberapa kali sebelum
hari ini. Semenjak aku ditugaskan menulis sejarah & budaya Cirebon beberapa
pekan lalu, aku sering pulang-pergi Bandung-Cirebon. Isu tentang pemekaran
wilayah Cirebon dan beberapa kabupaten di sekitarnya menjadi provinsi baru
rupanya menarik bagi Makruf. Aku ditugasinya menganalisis kabupaten yang secara
kultural berbeda dengan induk provinsinya. Dan Hasan, dalam setiap perjalanku
menggunakan Ciremai Ekspres, selalu datang mengusik waktu istirahatku.
"... dan pemirsa, polisi telah memasang
garis polisi di lokasi meledaknya bom rakitan di Jalan Balong Gede Bandung.
Saat ini evakuasi terhadap para korban tengah dilakukan..."
Bertepatan dengan kamera yang melakukan
zoom-in, kesadaranku kembali. Dalam dua detik sorotan kamera itu, kutangkap
bayangan sosok yang tadi hinggap dipikiranku. Kemeja biru cerahnya tertutup abu
hitam, di wajahnya ada bercak darah.
"Hai Ifa! Kamu dengar aku tidak?! Cepat
ke Balong Gede! Berikan aku berita!"
Aku terpaku. Hasan?
#Hasan
Kabutkah
dia? Aku tak yakin. Bagaimana mungkin ia begitu nyata?. Ataukah kamuflase
ketakutan yang menjelma bak cendawan dimusim hujan? Menjamur dan melebur dalam
ketidakberdayaanku pada mahkota takdir?
Sungguh
hina, sungguh gembira. Aku terpekur dan bersyukur atas kemurahan tuhan pada
ragaku, pada jiwaku, pada nafasku, pada hidupku dan kemaha lemahanku. Aku
meronta dalam asa dan tak berdaya dalam nyata.
“sudah
baikan de?”.
Oh
inikah sosok penghampun syurga, penjaga pintu ruhaniah?
“De,
bisa dengar suara saya?”
Tidak,
bukan dia. Tapi apa? Tapi Siapa?
“Untung
selamat, kalau saja ade tetap didalam mobil itu, mungkin ceritanya akan lain”.
Oh
Zat penggenggam jiwa, yang hidup matiku ada pada kekuasaan-Nya. Sungguh aku
bersyukur atas apa yang menimpaku. Betapa aku masih diberikan kesempatan bernyawa
sampai saat ini. Agar tertebus dosa-dosaku, terusahakan cita-citaku dan
tercintai kecintaanku.
Tapi
siapa lelaki itu? Yang memanggilku disaat-saat kritis? Jika saja bukan karena
panggilannya. Aku mungkin akan bernasib sama dengan penumpang lain yang berada
di dalam angkot. Gosong terbakar!!.
Segalanya
memang berjalan cepat laksana role
film manual yang diputar di bioskop. Tanpa istirahat dan tanpa jeda. Tak lama
setelah aku keluar dari angkot dan menuju sosok yang memanggilku di seberang
jalan, ledakan itu terjadi. Aku tak sempat mengenali laki-laki berwajah sendu
bertopi coklat itu. Sama halnya seperti aku tak sempat menghindari tiang kabel
telpon berwarna hitam yang “mencium” kepalaku. Daya dorong hempasan dan efek
dari ledakan mobil itu membuat tubuh kurusku terpental sejauh tiga meter.
Terbang tak terkendali layaknya layang-layang dipermainkan angin sore dibulan
Desember. Aku masih sadar ketika suara rintihan minta tolong para korban dan
derap langkah orang-orang mendekati tempat kejadian. Suara sirine yang
mengaung, jeritan pejaga toko, tangisan ibu-ibu dan segala macam suara yang
secara frekuensi bisa tertangkap telinga manusia, bersatu membentuk sebuah
simfoni yang rumit. Semuanya mengalun, menghentak dan menyuarakan satu nada
diujung lagunya; Panik.
Aku
beruntung, walau kepalaku berdarah, siku tangan kiri terpelintir dan perut
serta kakiku ngilu, aku selamat. Karunia Allah kurasakan betul saat itu. 15
menit setelah kejadian sudah banyak orang yang berdatangan. Termasuk beberapa
wartawan yang bisa dikenali dari kartu pengenal yang mereka kenakan. Adakah Ifa
disana? Salah satu jurnalis yang aku kagumi. Liputan dan artikelnya selalu
manarik dan dalam, berisi tapi mengalir, tajam tapi tidak menggurui. Aku yang
kuliah jurusan jurnalistik sangat ingin tahu seperti apa sosok wanita ini.
Kalau tidak gugup, aku mungkin akan meminta tanda tangannya jika bersua nanti,
ha…ha… Sempat-sempatnya aku berfikir kocak seperti itu ditengah-tengah musibah
yang menimpa diriku. Khayalanku tentang Ifa kemudian kabur, samar dan abu-abu.
Ternyata bukan Ifa, tapi kesadarankulah yang menghilang. Mobil putih bergaris
merah adalah ingatan fotografi terakhir yang kuingat pada peristiwa di jalan
Balong Gede. Setelah itu semuanya hitam dan tak tersadarkan sampai aku kembali
terbangun saat ini. Lagi-lagi dengan nuansa putih yang menyambut, Rumah Sakit.
Bayangn
Ifa menguap, aku penasaran dengan laki-laki yang memanggil dan memintaku keluar
dari angkot.
“Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi
sebenarnya ia
ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan
kalimat yang
dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit,
bumi, matahari,
rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan
kabut yang
diciptanya sendiri….
Siapakah… lelaki… itu? Di…di… mana…
dia?"
Aku
teringat tulisan Helvy Tiana Rosa. Oh…Pertanyaanmu dan pertanyaanku serupa mba!!
Siapakah…
lelaki… itu? Dimana… dia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar