Kamis, 15 Mei 2014

Ifa dan Hasan #Part 2

#Ifa

Stasiun Padalarang. Setidaknya tinggal satu stasiun lagi sebelum aku menghirup kembali udara
Bandung. Sama sepertiku yang mulai terjaga, penumpang lain kembali menikmati perjalanan. Ada gairah yg tampak dari wajah-wajah mereka. Ya, kami akan menyesap manisnya Kota Kembang. Beberapa petugas restorasi melintas. Yang perempuan, sudah pias riasan wajahnya sementara yang laki-laki, lipatan kemejanya tak lagi licin. Mereka menghampiri satu persatu kursi, mengecek  tagihan para pemesan makanan. Dari lakunya, mereka terlihat lelah. Bagaimana tidak? Subuh tadi mereka sudah meninggalkan peraduan. Tiga kali sudah mereka bergerak bersama gerbong, dari Cirebon ke Bandung kemudian kembali ke Cirebon dan kini mengarah ke Bandung. Masih tersisa satu perjalanan lagi setelah kereta menepi di Stasiun Bandung. Tapi, di mana Hasan, lelaki muda-belia berseragam biru dengan senyum artifisial itu?

#Hasan

Suara azan membahana. Memanggil setiap jiwa yg terpanggil dan menggetarkan setiap manusia yang terpencil. Suaranya sendu namun merdu. Bersayap namun menyayat. Aku selalu suka muadzin di Masjid Raya Bandung. Tempat ibadah yang menjadi kebanggaan dan pengukuhan Islam di  Jawa Barat. Manusia mengular, berbaris satu persatu untuk berwudlu. Kusandarkan kakiku di pilar masjid lantai satu, lelah.
"Hayya 'alalfalaah, hayya 'alalfalaah". Seruan muadzin menyeretku kemasa lalu. Masa
dimana.aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku, Tangerang. Saat itu adalah
masa yg sulit. Teman SD, sahabat SMP dan gank SMA mengungkapkan kata yg seragam,
 "Kamu akan kesulitan di Bandung".
 Namun, restu orang tua adalah tiket yg bisa melegalisasi rencanaku, merantau. Ya..Kini, diantara pilar-pilar kokoh Masjid terbesar di Kota Bandung aku menyeret ragaku demi sebuah perantauan itu. Bekerja sebagai pramusaji Kereta Api Bandung-Cirebon.
"Laa ilaaha illallah". Adzan berakhir, aku bergegas berdiri. Kakiku lemas karena bekerja seharian. Jika seperti ini aku sering mengingat kata-kata Imam Syafi'i yg kupelajari ketika mengaji di surau Haji Lomri di samping rumahku.
"Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Pergilah, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat
dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang".
Aku menangis, tiba-tiba bayangan kedua orang tuaku terpantul dilangit-langit masjid.
Rabb, jadikan aku pengembara yg menemukan arah tujuannya dan bukan tersesat dalam nafsu serta kebodohannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar