“Mereka tidak memilih dilahirkan seperti apa,
Kitalah yang bisa memilih mau memperlakukan mereka seperti apa.”
Bahwa setiap orang
memiliki ikatan, adalah benar adanya. Kadangkala ikatan itu menguatkan namun
tak jarang juga menyakitkan. Ikatan bagi manusia bak candu yang memabukan.
Ketika ditanggalkan atau dicampakan maka dia akan kehilangan arah, akan merasa
terasingkan, akan merasa tak ada dan akan merasa tak memiliki rasa. Dan,
sungguh ikatan ini membuatku banyak belajar darimu kawan.
Aku dan Saprowi adalah
contoh nyata dari sebuah ikatan yang unik. Kami berdua dibesarkan disebuah
kampung yang sama. Rumahku dan rumahnya hanya selemparan batu. Jika aku
berjalan dari pintu rumah, maka tak sampai hitungan ke-38 kakiku sudah berada
dipekarangan rumahnya. Dulu sekali, ketika belum memahami makna ulang tahun,
Ibu pernah bercerita bahwa usia Saprowi tiga tahun lebih tua dariku. Maka jika
sekarang dalam identitas KTP ku tertera tahun 1988 maka dalam identitas
bayangannya (dia tidak punya KTP) akan tertulis angka 1985.
Keseharian Saprowi
adalah mengurus kerbau keluarganya. Ketika badannnya bertambah kuat beberapa
tetangga ikut memakai jasanya untuk hal yang serupa. Diwaktu tertentu, ayahpun
sering meminta bantuannya untuk mencarikan rumput untuk pakan kerbau atau
kambing kami. Yah, walau dilahirkan dikampung, aku memang tidak terlalu intens
melakukan hal-hal seperti umumya anak-anak sebayaku. Sebuah momen yang saat ini
aku sesali karena melewatkannya begitu saja.
Dalam beberapa kesempatan
aku diajak Saprowi untuk mamandikan binatang ternak kami ke sungai. Prosesi
mengeluarkan kerbau dari kandang, menggiringnya melewati persawahan dan
mengusap serta membersihkan tubuh mereka dengan jerami merupakan sebuah simfoni
yang mengalunkan nada-nada keindahan. Ah, sungguh hebat dan terpukau aku
melihat bagaimana dia, seorang bocah kecil bisa mengatur empat sampai tujuh
ekor kerbau sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kata “diinginkannya” memang
merupakan penafsiranku sendiri. Karena Saprowi tidak pernah menceritakan secara
lisan padaku apa yang diinginkannya. Lebih tepatnya “tidak bisa”. Tuhan memang
menjadikannya istemawa semenjak lahir. Kedua telinga dan mulutnya tak bisa
dipergunakan layaknya orang kebanyakan. Ia tunarungu-tunawicara. Namun
percayalah kawan, walau begitu kami bisa saling memahami satu sama lain. Aku
dan teman-teman yang lain memanggilnya dengan sebutan “aw-aw”. Tentu
sebutan ini merujuk pada kosa kata yang bisa dia ucapkan. Oh, seandainya
telinganya bisa mendengar, mungkin sebutan ini akan membuatnya sakit. Aku
sempat menerka, mungkin dia akan sangat senang jika orang-orang memanggilnya
dengan nama pemberian orang tuanya.
Layaknya anak kampung,
aku, Saprowi dan teman-teman yang lain selalu bermain bersama. Dalam setiap permainan uucingan,
oray-orayan, ucing patung, susupaan, bebentengan, gampuh, dan gobag hampir
semua permainan itu kami memilih menjadi temannya. Dia Sangat Hebat!!. Allah
memang mengganti keterbatasannya dalam pendengaran dan pembicaraan dengan
kekuatan dan daya fisik yang jauh melebihi anak seusianya. Larinya sangat
cepat, kakinya keras laksana beton, cengkraman tangannya laksana cakar wolverine,
gocekannya ketika memegang bola tak kalah dengan bintang sepakbola Italia
Roberto Bagio. Tidak berhenti disana, etos kerja dan prinsipnya sangat luar
biasa. Jika sudah menginginkan sesuatu maka dia akan berusaha sekuat
tenaga untuk mencapainya.
Sungguh, tak akan pernah
cukup aku menggambarkan kehebatan sahabatku yang satu ini. Sayang Saprowi tidak
bisa membaca dan menulis apalagi memahami bahasa isyarat, begitupun dengan kami
teman-teman dan orang yang lebih tua darinya. Padahal dia dan orang-orang
sepertinya tidak memilih dilahirkan seperti apa. Kitalah yang sebenarnya bisa
memilih mau memperlakukan mereka seperti apa.
Suatu saat, ya suatu
saat aku ingin dia berteman dengan hurup. Agar luas dunianya, agar luas
cita-citanya, agar luas pemahamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar