Selasa, 17 Desember 2013

MUSTOFA


rentang waktu berkelana,
melesat,
melebat zaman yang terus bergelora,
di titik jauh sang pendosa merana,
melesat,
melebat dalam riak - riak dosa,
detik ini, sang pendosapun merana,
meratap, melenguh, mencari kehaqiqian yang hilang dalam lekuk perjalanannya,
oh diri, dimanakah kau berada?
disudut mana kau akan bersembunyi?
sampai titik mana kau akan lari ?
tak rindukah kau akan syafa'atnya ?
atau tak inginkah kau mengharap cahaya kasihnya ?
lalu sampai kapan kau akan mengkhianati cinta Sang Mustafa?
Rabb...
saat ini sang pendosa bersimpuh,
menyepuh dosa dengan do'a ...
melebur kufur dengan syukur...
untuk kemudian berharap bersama dengannya
mereguk keindahan cinta-Mu
duhai Sang Maha Pencinta


Dalam Keheningan



dalam keheningan, disanalah aku
dalam bilik bambu, terdengkurlah aku
dalam cuap dunia, bersembunyilah aku
dalam hingar pesta, tertahanlah aku

pemahaman hidup menyadarkan diri
bahwa kita Tidaklah Sendiri
akan Selalu ada Cinta dari Sang Maha Pencinta

cinta bukanlah kabut yang membohongi
bukan pula dering yang memekikan
Entah kenapa,
terlalu sulit bagiku untuk mendefinisikan cinta

yang aku tau cinta tak membuat hitam menjadi putih
tidak pula merubah racun menjadi madu..
tapi cinta menghapus hitam tuk kemudian dibaur putih
dan membuang racun tuk seteguk madu

Oh wahai dari segala wahai
tiap kali hamba bersujud padamu
tak ada lain yang hamba pinta kecuali ridho Mu
karena hanya dengan keridhoanmu lah
diri ini dapat mereguk manisnya cinta Mu

AKU MABUK


Aku dalam kesendirianku,
bagai seonggok kayu dalam gunungan batu kerikil.
Aku dalam kebodohanku,
bagai itik dibelenggu Singa.
Aku dalam keterbatasanku,
bagai bahtera yang terombang-ambing tak tau arah.
Aku membuat aku malu,
aku dan kelemahanku,
aku dan rasa sombongku,
aku dan penyesalanku,
aku berbicara tentang diriku,
dalam renungan taubatku,
Oh diri,
TUHAN TAHU, TAPI MENUNGGU


Gadis di Seberang Sungai





kulitnya pucat, meranggas menahan rindu pada sosok di seberang sungai.
entah siapa dia memancarkan pesona disana,
jilbabnya tergurai,
gamisnya melambai,
membuat mata yang memandang tertunduk kagum dan malu pada yang menciptanya,
kini gadis itu hanyut bersama deras sungai dimusim hujan,
meninggalkan kelu dan harapan bagi pujangga yang mendamba..
entah, entah bagaimana lagi pujngga itu bersyair,
jika tinta kerinduannya melepuh bersama hati yang terbakar,
entah, entah bagaimana lagi pujangga itu besenandung,
jika melodi kehidupannya terkubur kerak ketidak pastian,
entah, entah bagaimana lagi.....

Ikatan yang Melebihi Indra


“Mereka tidak memilih dilahirkan seperti apa,
Kitalah yang bisa memilih mau memperlakukan mereka seperti apa.”

Bahwa setiap orang memiliki ikatan, adalah benar adanya. Kadangkala ikatan itu menguatkan namun tak jarang juga menyakitkan. Ikatan bagi manusia bak candu yang memabukan. Ketika ditanggalkan atau dicampakan maka dia akan kehilangan arah, akan merasa terasingkan, akan merasa tak ada dan akan merasa tak memiliki rasa. Dan, sungguh ikatan ini membuatku banyak belajar darimu kawan.

Aku dan Saprowi adalah contoh nyata dari sebuah ikatan yang unik. Kami berdua dibesarkan disebuah kampung yang sama. Rumahku dan rumahnya hanya selemparan batu. Jika aku berjalan dari pintu rumah, maka  tak sampai hitungan ke-38 kakiku sudah berada dipekarangan rumahnya. Dulu sekali, ketika belum memahami makna ulang tahun, Ibu pernah bercerita bahwa usia Saprowi tiga tahun lebih tua dariku. Maka jika sekarang dalam identitas KTP ku tertera tahun 1988 maka dalam identitas bayangannya (dia tidak punya KTP) akan tertulis angka 1985.  

Keseharian  Saprowi adalah mengurus kerbau keluarganya. Ketika badannnya bertambah kuat beberapa tetangga ikut memakai jasanya untuk hal yang serupa. Diwaktu tertentu, ayahpun sering meminta bantuannya untuk mencarikan rumput untuk pakan kerbau atau kambing kami. Yah, walau dilahirkan dikampung, aku memang tidak terlalu intens melakukan hal-hal seperti umumya anak-anak sebayaku. Sebuah momen yang saat ini aku sesali karena melewatkannya begitu saja.

Dalam beberapa kesempatan aku diajak Saprowi untuk mamandikan binatang ternak kami ke sungai. Prosesi mengeluarkan kerbau dari kandang, menggiringnya melewati persawahan dan mengusap serta membersihkan tubuh mereka dengan jerami merupakan sebuah simfoni yang mengalunkan nada-nada keindahan. Ah, sungguh hebat dan terpukau aku melihat bagaimana dia, seorang bocah kecil bisa mengatur empat sampai tujuh ekor kerbau sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kata “diinginkannya” memang merupakan penafsiranku sendiri. Karena Saprowi tidak pernah menceritakan secara lisan padaku apa yang diinginkannya. Lebih tepatnya “tidak bisa”. Tuhan memang menjadikannya istemawa semenjak lahir. Kedua telinga dan mulutnya tak bisa dipergunakan layaknya orang kebanyakan. Ia tunarungu-tunawicara. Namun percayalah kawan, walau begitu kami bisa saling memahami satu sama lain. Aku dan teman-teman yang lain memanggilnya dengan sebutan “aw-aw”.  Tentu sebutan ini merujuk pada kosa kata yang bisa dia ucapkan. Oh, seandainya telinganya bisa mendengar, mungkin sebutan ini akan membuatnya sakit. Aku sempat menerka, mungkin dia akan sangat senang jika orang-orang memanggilnya dengan nama pemberian orang tuanya.

Layaknya anak kampung, aku, Saprowi dan teman-teman yang lain selalu bermain bersama. Dalam setiap permainan uucingan, oray-orayan, ucing patung, susupaan, bebentengan, gampuh, dan gobag hampir semua permainan itu kami memilih menjadi temannya. Dia Sangat Hebat!!. Allah memang mengganti keterbatasannya dalam pendengaran dan pembicaraan dengan kekuatan dan daya fisik yang jauh melebihi anak seusianya. Larinya sangat cepat, kakinya keras laksana beton, cengkraman tangannya laksana cakar wolverine, gocekannya ketika memegang bola tak kalah dengan bintang sepakbola Italia Roberto Bagio. Tidak berhenti disana, etos kerja dan prinsipnya sangat luar biasa.  Jika sudah menginginkan sesuatu maka dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya.

Sungguh, tak akan pernah cukup aku menggambarkan kehebatan sahabatku yang satu ini. Sayang Saprowi tidak bisa membaca dan menulis apalagi memahami bahasa isyarat, begitupun dengan kami teman-teman dan orang yang lebih tua darinya. Padahal dia dan orang-orang sepertinya tidak memilih dilahirkan seperti apa. Kitalah yang sebenarnya bisa memilih mau memperlakukan mereka seperti apa.

Suatu saat, ya suatu saat aku ingin dia berteman dengan hurup. Agar luas dunianya, agar luas cita-citanya, agar luas pemahamannya.


KORELASI PENDIDIKAN DAN KELUARGA DALAM BINGKAI KEISLAMAN


KORELASI PENDIDIKAN DAN KELURGA DALAM BINGKAI KEISLAMAN
Oleh: rosyad_elbantani
(Koordinator Komunitas Peduli Pendidikan Tangerang)

Permasalahan pendidikan di negeri ini bukan merupakan hal baru. Tiap hari kita disugihi dengan berbagai macam tayangan televisi, berita online, koran ataupun pembicaraan orang-orang yang mengangkat tentang problematika dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa waktu lalu misalnya, kita dimarakan dengan adanya peristiwa pembajakan sebuah bus oleh sekelompok siswa SMA  di Jakarta. Ironisnya bus tersebut akan dipergunakan untuk menyerang sekolah lain.
Penulis tidak dalam posisi menentukan apakah perilaku anak-anak abg ini terklasifikasikan sebagai tindakan kriminal atau hanya kenakalan remaja. Yang pasti, diluar kasus penyerangan bus, ada begitu banyak sekali pemasalahan yang melibatkan anak-anak sekolah atau anak-anak usia sekolah. Penggunaan narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan mengkonsumsi minuman keras adalah sederet kasus lain yang mengisi list berita-berita dimedia masa, baik cetak maupun elektronik.
Sekolah yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga akhlaq
Penyebab
Dalam konteks sosial, termasuk didalamnya permasalahan sosial. Hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada penyebab tunggal yang membuat seorang siswa/anak melakukan tindakan negatif. Keluarga, sekolah atau lingkungan bisa saja berperan besar memberikan akses negatif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Namun, dari sekian banyak kasus yang melibatkan anak sekolah atau usia sekolah diperoleh sebuah benang merah bahwa secara general anak-anak ini biasanya dibesarkan dari keluarga yang sibuk atau kurang memiliki kepekaan terhadap anak-anaknya.
Para orang tua seakan membagi tugas mendidik layaknya dua garis yang berlawanan arah. Orang tua mencari nafkah untuk keperluan kehidupan keluarga dan  pihak sekolahlah yang akan mendidik anak-anak mereka. Persepsi demikian lahir disebabkan karena adanya kesalahan sudut pandang yang menganggap pendidikan hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah yang sudah mereka bayar sebagai tempat anak-anaknya belajar sehari-hari. Padahal proses pendidikan tidak bisa diserahkan begitu saja pada satu pihak. Baik keluarga, lingkungan dan sekolah memiliki saham untuk membentuk seorang anak mendapatkan pemahaman pendidikan yang baik dan benar, termasuk didalamnya dari segi etika.
Peran keluarga dalam pendidikan
Dalam peribahasa Arab dikenal sebuah istilah Al baytu madrasatul ‘ula, yang berarti keluarga merupakan tempat pertama seseorang untuk belajar. Dalam sudut pandang Sosiologi, keluarga merupakan salah satu lembaga sosial yang utama. Keluarga juga menjadi dasar melalui mana semua lembaga sosial lainnya berkembang. Seperti lembaga pendidikan, ekonomi, politik dll. Sederhananya, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi fokus terpenting dalam kehidupan individu.
Jika ruang lingkupnya kita perluas maka keluarga merupakan jiwa dan tulang punggung suatu negara. Quraish Shihab (1992) misalnya mengatakan bahwa  kesejahteraan lahir-batin yang dialami negara adalah cerminan dari situasi keluarga yang hidup ditengah-tengah masyarakat negara itu sendiri. Sedangkan Sukayat (2001) menambahkan bahwa negara yang ingin mendapatkan predikat baldah toyyibah haruslah dibangun oleh masyarakat yang marhamah. Pondasi utama dari masyarakat yang marhamah adalah keluarga yang sakinah. Sedangkan pilar yang harus ditegakan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah adalah aqidah, mawaddah dan rahmah.
Kebahagian berkeluarga, itulah kunci dalam memperbaiki karut-marutnya permasalahan pendidikan di Indonesia. Menurut Fritz Damanik (2013) mengutip pernyataan Nicholas Stinet (1992) mengatakan bahwa keluarga bahagia cenderung memiliki hal-hal khas. Poin-poin itu adalah menghabiskan banyak waktu bersama, mampu memuji dengan cepat, bertekad meningkatkan kesejahteraan satu sama lain, menghabiskan banyak waktu berbincang-bincang dan saling mendengarkan, religius dan menghadapi krisis ataupun masalah dengan cara yang positif.
Keluarga yang harmonis akan sangat mempengaruhi perkembangan anak
Pada akhirnya keluarga yang bisa menerapkan prinsip  aqidah, mawaddah dan rahmah merupakan keluarga bahagia yang akan sangat membantu proses perkembangan anak. Selain itu keluarga yang baik, dalam hal ini orang tua juga harus berusaha menjaga dan memberikan pemahaman tentang sesuatu yang harus mereka patuhi dan jauhi. Allah SWT berfirman dalam surat At Tahrim ayat 6 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya ialah mansia dan batu; Penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

Jelaslah semuanya bahwa Islam mengajarkan dan memberikan pemahaman pada kita semua bahwa keluarga yang mengenalkan, mengajarkan dan membiasakan anak tentang bagaimana harus bicara, bagaimana harus bersikap dan bagaimana harus bertindak seperti yang seharusnya dilakukan seorang manusia beradab. 

Senin, 09 Desember 2013

Ratu, iTu Bagus…???


Istana terbangun batu memedih,
Dibawah pondasi hormat penjilat,
Tunduk meng-iya-kan titah,
Lari meninggalkan amanah.

Rakyat tumbuh separuh jalan,
Tergeletak dikelam peradaban,
Tertatih dalam gontai kemakmuran,
Tertipu senyum palsu sang pemangku,
“Ratu, iTu Bagus?”

Putra mahkota berkembang remaja,
Bergeliat dari dasar ketakutan,
Terlihat gembira disudut indrawi,
Berdiri bak mercusuar di tepi daratan,
Kokoh!
“Ratu, iTu Bagus?”

Tangannya menunjuk tajam tak berpenghalang,
Menyorot anak tetangga di negeri seberang,
Bercumbu dengan kekuasaan, yang raganya sejahtera, jiwanya terdamaikan,
Alam, rakyat dan setanpun bernada sumbang,
Bertanya pada Bunda penunjuk asa.
“Ratu, iTu Bagus?”.
Entahlah.




Minggu, 01 Desember 2013

Sukses adalah Hak Kita


Bismillah,
saudaraku…
sadarkah kita, bahwa sukses adalah hak saya, hak anda, hak kita semua.
tapi janganlah lupa, bahwa berusaha menjadi suksespun merupakan kewajiban saya, kewajiban anda, kewajiban kita semua.

Sebuah kesuksesan didapat dengan caranya sendiri,
dengan keunikan dan karakter orang yang menjalaninya.

Tapi satu hal yang harus dan selalu kita yakini,
bahwa menjadi agent of change adalah kemulyaan yang luar biasa,
menjadi pewarna dalam kehidupan adalah kenikmatan yang sangat besar,
menjadi guru kehidupan adalah investasi yang menjanjikan.

Maka, mari amal kan ilmu kita,
wakafkan apa yang kita punya,
lalu tunggulah kesuksesan yang akan menghampiri
Wallahua’lam
13 Oktober 2013 Pukul 14: 31


Tekad Seorang Ikwan


Siapapun, seperti apapun dan bagaimanapun wanita yang kucintai, belum tentu akan aku nikahi.
tapi siapapun wanita yang ku nikahi,
akan kulimpahkan segala bunga rindu padanya,
kutuntun ia dalam hidayah Tuhan
dan kutaburi setiap inci perjalananya dengan bahasa cinta dan kasih sayang.
Insyaallah
11 Agustus 2010 pukul 10:26


Seretan Ilmu


Sahabat....
nun jauh diujung sana,
lautan ilmu menunggu untuk kita selami.
berjuta keindahan dan kemulyaan tersembunyi didalamnya.

siapkah kita untuk melebur diri?
berlari menyongsong impian itu,
mencoba berpeluh ketika yang lain berleha?

atau kita akan sama seperti mereka?
yang diam pada takdir perenggut diri?
pasrah pada ketidak mampuan dan lari dari kenyataan?

tidak,,,
tidak seperti itu sahabat,
boleh saja kaki ini lusuh,
kulit ini melepuh,
tapi jangan biarkan hati kita menjadi keruh,
yang pada akhirnya melebur semua asa dan harapan.

bermimpilah,
bertekadlah, 
dan perjuangkanlah,
selamilah ilmu dengan akal  yang Allah karuniakan kepada kita,
janganlah merasa putus asa, apa lagi terhina.

ingatlah..!!
tak ada nista dari orang yang haus akan ilmu dan kebesaran-Nya.
Wallahua'lam
21 September 2010 pukul 0:55


Untuk Calon Istriku


Rabb..lindungilah hamba dari fitnah wanita,
dan begitupun dengan calon istriku.
dalam hati aku bertekad hanya akan mencintai perempuan yang menjadi istri ku, bukan yang lain.
kalau ternyata yang menjadi istriku adalah gadis itu, maka jagalah dia, jagalah aku.
karena dialah orang yang akan saya limpahi segenap cinta dan kasih sayang yang saya miliki.
tapi siapapun dia yang menadi istriku, semoga kelak aku bisa membahagiakannya dan menggenggam tangannya erat-erat memasuki pintu surga.
tempat paling indah tuk orang-orang yang memadu cinta semata-mata karena mencari ridha Allah Subhanahu Wata'ala.
Rabb..Kau tau bahwa hamba kerap goyah dengan hal itu.
i’tikad ini memang tidak mudah, bahkan dengan segala kekhilafan yang kerap menerpa,
aku merasa sebagai hamba hina yang tak berdaya,
hanya dengan hidayah-Mu lah segala i’tikad dan niatan bisa terealisasikan atau tidak.
jika ini baik menurut-Mu maka maka berilah hamba rahmat tuk mereguknya.

23 Juni 2011 pukul 8:58


Rabu, 13 November 2013

Banten dalam Dimensi Sejarah

Banten dalam Dimensi Sejarah
(Sebuah Pembelajaran Penting dari Kampung Budaya untuk Banten dan Indonesia)


Sejarah mengungkap fakta. Sastra, seni dan arsitektur melestarikannya. Dan, setiap manusia mencari kebenarannya. Yulian Firdaus Hendriyana dalam pengantarnya dibuku Gajah Mada: Perang Bubat, karya Langit Kresna Hariadi.”

Penulis didepan spanduk acara Kampung Budaya
Sebagai seseorang yang diberi makan dari nasi yang ditanam ditanah Banten. Aku sempat “murtad” terhadap sejarah di wilayah paling barat di Pulau Jawa ini. Gelar Sarjana Pendidikan Sejarah yang menempel setelah namaku lebih banyak diwarnai dengan riset yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejarah Banten masuk dalam prioritas ke-13 dalam list objek yang harus aku teliti. Seiring berjalannya waktu dan kembalinya jasadku ke bumi Banten. Batin ini ikut terseret untuk kemudian tersentak pada panggilan jiwa untuk memperdalam kembali sejarah dan kebudayaan Provinsi yang pada saat ini genap berusia 13 tahun.
Kesempatan mempelajari lebih dalam tentang Banten aku dapatkan pada kegiatan Kampung Budaya Nusantara yang diselenggarakan pada interval 08-10 November 2013 di Rumah Dunia, Serang. Dalam konteks sejarah, dari kegiatan ini setidaknya aku belajar dua hal, Pertama; Sebagian masyarakat Banten terlena akan romantisme kejayaan kesultanan dimasa lalu. Tentang keagungan Syeh Syarif Hidayatullah, tentang kebijaksanaan Sultan Hasanuddin, tentang kehebatan Sultan Agung Tirtayasa, tentang Indahnya Istana Sorosowan dan tentang makmurnya rakyat Banten tempo dulu. Ya, sekali lagi tempo dulu, “padahal permasalahannya bukan hanya terletak pada apa yang terdapat pada budaya dimasa lalu, tapi juga tentang apa yang harus kita lakukan untuk membangun kebudayaan kita sendiri, saat ini”, tegas Halim Hade, pemerhati sejarah Banten yang mengisi materi pada hari terakhir kegiatan kampung Budaya di Keraton Kaibon, Banten Lama.
Suasana diskusi tentang sejarah Banten
Kedua; Sebagai makhluk yang hidup dalam sebuah ruang kehidupan, maka secara otomatis manusia terikat juga oleh sebuah dimensi waktu. Dengan kata lain dalam menjalankan kehidupannya manusia haruslah melihat dan memperhatikan waktu yang telah, sedang dan akan ia alami kelak. Dengan mempelajari Sejarah Banten ada begitu banyak pengalaman masa lalu yang bisa dijadikan pedoman kehidupan yang berkebudaayan dan keberadaban. Nilai toleransi salah satunya. Bagaimana seorang pendiri kerajaan Banten Syeh Syarif Hidayatullah membangun sebuah Vihara yang bernama Avalokitesvara untuk para pendatang dari China yang memang mayoritas beragama Budha. Perasaan saling menghormati dan menghargai ini masih tetap terjaga bahkan sampai Kesultanan Banten tiada seperti saat ini. 
Peserta Kampung Budaya di Vihara Avalokitesvara
Kegiatan yang bekerjasama dengan Direktorat Sejarah dan Nilai  Budaya, Direktorat Jendral Kebudayan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini sukses membuat para peserta “mendaur ulang” isi kepala mereka dengan pengetahuan dan pemahaman baru tentang menempatkan sejarah sebagai sebuah bagian penting membangun Banten disatu sisi dan Indonesia disisi lain kearah yang lebih baik.
Ingat, belajar memahami Sejarah memang tidak akan merubah masa lalu, tapi bisa memperbaiki masa depan.





Kamis, 17 Oktober 2013

Rumah itu Rumah Dunia


(Gol A Gong -empat dari kanan- bersama angota Kelas Menulis angkatan 22)
Atmosfer keilmuan, kerja keras, perjuangan, jurnalistik, sastra, idealisme, peradaban dan sedikit “kegilaan”. Begitu kira-kira yang bisa aku lukiskan tentang Rumah Dunia. Sekian lama tenggelam dalam romantisme sejarah tentang kejayaan  Kesultanan Banten dimasa lalu. Masyarakat Provinsi paling barat di Pulau jawa ini kemudiaan seakan lupa untuk membangun kejayaannya kembali. Sudah kadung tergambarkan dan lekat dalam ingatan tentang ketertinggalan manusianya. Tidak adil memang kalau kata-kata itu dilekatkan pada semua penduduknya. Karena masih ada sebagian dari putra Banten yang tergerak dan bergerak untuk memajukan setidaknya asal daerahnya ini.
Rumah dunia, ya Rumah Dunia. Tempat ini kemudian menjadi penggambaran bahwa para pejuang itu masih ada. Bahwa Agent of Change itu masih dilahirkan dan putra-putri terbaik bangsa ini belum punah ditelan zaman. Disinilah harapan untuk membuat Banten lebih baik bermuara. Bahkan tidak hanya Banten, ada arah yang terlihat oleh saya bahwa cahaya perubahan (kearah lebih baik) ini akan terpencar serta menjadi mercusuar peradaban keseluruh pelosok Indonesia, bahkan dunia.
Bukan, ini bukan khayalan. Apa yang kita bicarakan ini bukan mimpi seorang pemalas.  Karena mimpi para pejuang tidak dilakukan pada saat mata mereka tertutup. Mimpi Rumah Dunia dilakukan pada saat mata ini terbuka. Sehingga terlihat jelas bagaimana perjuangan dalam menggapai mimpi-mimpi itu dilakukan.