Sabtu, 26 Juli 2014

ORAL TRADITION VS PUBLIC SPEAKING TRADITION


(oleh: rosyad_elbantani)
Sebagian besar manusia memiliki kemampuan untuk berbicara, baik dia anak kecil, remaja maupun dewasa.  Kemampuan bicara juga berlaku untuk hampir semua profesi baik yang dianggap bawah oleh  masyarakat, menengah maupun tinggi. Namun, manakala kata “berbicara” ditambahkan dengan kata lain yaitu “di depan umum”, maka sebagian manusia yang memiliki kemampua bicara itu akan mundur teratur. Kemampuan berbicara di depan orang banyak atau dikenal juga dengan istilah Public Speaking (PS), memang tidak dimiliki oleh banyak orang. Biasanya orang yang memiliki kemampuan ini sering menjadi pemimpin dalam kelompoknya.
Sebagian besar komentar yang muncul manakala ditanyakan alasan kenapa PS tidak dimiliki banyak orang adalah deretan kata-kata berikut; gugup, tidak percaya diri, kehilangan kata-kata dan tegang. Normal memang, karena PS merupakan sebuah sarana seseorang untuk berinteraksi dengan banyak individu dalam satu waktu sekaligus. Hal ini sulit mengingat sifat heterogen dari setiap individu. Bagaimana kita seorang diri harus menghadapi manusia yang pasti berbeda isi kepalanya.
Segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya, termasuk kesulitan dalam PS. Bahkan dalam konteks masyarakat Indonesia Nenek Moyang kita sudah “mewariskan” hal ini dari dahulu. Jika kita melihat budaya dan sejarah bangsa ini, ada sebuah hipotesis yang bisa diambil. Kesimpulan awal itu berupa fakta bahwa masyarakat Indonesia memiliki oral tradition yang cukup tinggi. Hal ini bisa kita lihat dari begitu banyak dongeng, folklore, fable, fairy tale dan myth yang lahir dari berbagai daerah.
Memang fakta-fakta tadi tidak serta menjadi landasan bahwa masyarakat Indonesia sangat ahli dalam PS, karena baik dongeng, mythe dan lain-lain lebih pada pembuktian bahwa orang Indonesia seneng ngomong, bukan seneng ngomong ke banyak orang. Namun, selayaknya budaya yang bisa berkembang, maka oral tradition-pun bisa kita kembangkan menjadi Public Speaking Tradition. Why not?


rosyad_elbantani adalah nama pena Ahmad Rosadi. Laki-laki kelahiran Tangerang seperempat abad yang lalu ini aktif di diberbagai organisasi dan institusi. Selain sebagai pendidik di sekolah formal, beliau juga tercatat sebagai Jurnalis dan Relawan Rumah Dunia Serang, Trainer, pengelola TBM Pustaka Mandiri, Komunitas Rumah Cerdas Tangerang dan Sanggar Bintang Bogor. Penulis bisa dihubungi melalui telepon 08987059359

*Essai ini saya sampaikan dalal pelatihan public speaking tanggal 14 Juli 2014 di Rumah Dunia Serang dalam acara "Nyenyore"


Kamis, 15 Mei 2014

Ifa dan Hasan #Part 4

#Ifa

Suara BoA mengalun dari ponsel mengagetkanku. Panggilan dari Makruf, atasanku. Suara bas nya langsung terdengar begitu sambungan telepon itu kuterima. Panggilan tugas. Oo, tega sekali si Makruf! Belum sempat kurebahkan tubuh lepas menunaikan tugas liputan di Cirebon, ia sudah mengajukan tugas baru padaku! Malas, kudengarkan saja ocehannya itu sementara aku menghidupkan layar kaca.
Wajah kuyu seorang reporter langsung menyapaku. Sebuah breaking news. Sementara Makruf masih berkicau di ujung sambungan telepon dan reporter itu terus membacakan berita terhangat, aku melayangkan pikiran.
Hasan. Aku melihatnya beberapa kali sebelum hari ini. Semenjak aku ditugaskan menulis sejarah & budaya Cirebon beberapa pekan lalu, aku sering pulang-pergi Bandung-Cirebon. Isu tentang pemekaran wilayah Cirebon dan beberapa kabupaten di sekitarnya menjadi provinsi baru rupanya menarik bagi Makruf. Aku ditugasinya menganalisis kabupaten yang secara kultural berbeda dengan induk provinsinya. Dan Hasan, dalam setiap perjalanku menggunakan Ciremai Ekspres, selalu datang mengusik waktu istirahatku.
"... dan pemirsa, polisi telah memasang garis polisi di lokasi meledaknya bom rakitan di Jalan Balong Gede Bandung. Saat ini evakuasi terhadap para korban tengah dilakukan..." 
Bertepatan dengan kamera yang melakukan zoom-in, kesadaranku kembali. Dalam dua detik sorotan kamera itu, kutangkap bayangan sosok yang tadi hinggap dipikiranku. Kemeja biru cerahnya tertutup abu hitam, di wajahnya ada bercak darah. 
"Hai Ifa! Kamu dengar aku tidak?! Cepat ke Balong Gede! Berikan aku berita!"

Aku terpaku. Hasan?

#Hasan

Kabutkah dia? Aku tak yakin. Bagaimana mungkin ia begitu nyata?. Ataukah kamuflase ketakutan yang menjelma bak cendawan dimusim hujan? Menjamur dan melebur dalam ketidakberdayaanku pada mahkota takdir?
Sungguh hina, sungguh gembira. Aku terpekur dan bersyukur atas kemurahan tuhan pada ragaku, pada jiwaku, pada nafasku, pada hidupku dan kemaha lemahanku. Aku meronta dalam asa dan tak berdaya dalam nyata.
“sudah baikan de?”.
Oh inikah sosok penghampun syurga, penjaga pintu ruhaniah?
“De, bisa dengar suara saya?”
Tidak, bukan dia. Tapi apa? Tapi Siapa?
“Untung selamat, kalau saja ade tetap didalam mobil itu, mungkin ceritanya akan lain”.
Oh Zat penggenggam jiwa, yang hidup matiku ada pada kekuasaan-Nya. Sungguh aku bersyukur atas apa yang menimpaku. Betapa aku masih diberikan kesempatan bernyawa sampai saat ini. Agar tertebus dosa-dosaku, terusahakan cita-citaku dan tercintai kecintaanku.
Tapi siapa lelaki itu? Yang memanggilku disaat-saat kritis? Jika saja bukan karena panggilannya. Aku mungkin akan bernasib sama dengan penumpang lain yang berada di dalam angkot. Gosong terbakar!!.
Segalanya memang berjalan cepat laksana role film manual yang diputar di bioskop. Tanpa istirahat dan tanpa jeda. Tak lama setelah aku keluar dari angkot dan menuju sosok yang memanggilku di seberang jalan, ledakan itu terjadi. Aku tak sempat mengenali laki-laki berwajah sendu bertopi coklat itu. Sama halnya seperti aku tak sempat menghindari tiang kabel telpon berwarna hitam yang “mencium” kepalaku. Daya dorong hempasan dan efek dari ledakan mobil itu membuat tubuh kurusku terpental sejauh tiga meter. Terbang tak terkendali layaknya layang-layang dipermainkan angin sore dibulan Desember. Aku masih sadar ketika suara rintihan minta tolong para korban dan derap langkah orang-orang mendekati tempat kejadian. Suara sirine yang mengaung, jeritan pejaga toko, tangisan ibu-ibu dan segala macam suara yang secara frekuensi bisa tertangkap telinga manusia, bersatu membentuk sebuah simfoni yang rumit. Semuanya mengalun, menghentak dan menyuarakan satu nada diujung lagunya; Panik.
Aku beruntung, walau kepalaku berdarah, siku tangan kiri terpelintir dan perut serta kakiku ngilu, aku selamat. Karunia Allah kurasakan betul saat itu. 15 menit setelah kejadian sudah banyak orang yang berdatangan. Termasuk beberapa wartawan yang bisa dikenali dari kartu pengenal yang mereka kenakan. Adakah Ifa disana? Salah satu jurnalis yang aku kagumi. Liputan dan artikelnya selalu manarik dan dalam, berisi tapi mengalir, tajam tapi tidak menggurui. Aku yang kuliah jurusan jurnalistik sangat ingin tahu seperti apa sosok wanita ini. Kalau tidak gugup, aku mungkin akan meminta tanda tangannya jika bersua nanti, ha…ha… Sempat-sempatnya aku berfikir kocak seperti itu ditengah-tengah musibah yang menimpa diriku. Khayalanku tentang Ifa kemudian kabur, samar dan abu-abu. Ternyata bukan Ifa, tapi kesadarankulah yang menghilang. Mobil putih bergaris merah adalah ingatan fotografi terakhir yang kuingat pada peristiwa di jalan Balong Gede. Setelah itu semuanya hitam dan tak tersadarkan sampai aku kembali terbangun saat ini. Lagi-lagi dengan nuansa putih yang menyambut, Rumah Sakit.
Bayangn Ifa menguap, aku penasaran dengan laki-laki yang memanggil dan memintaku keluar dari angkot.

“Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia
ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang
dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari,
rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang
diciptanya sendiri….
Siapakah… lelaki… itu? Di…di… mana… dia?"
Aku teringat tulisan Helvy Tiana Rosa. Oh…Pertanyaanmu dan pertanyaanku serupa mba!!
Siapakah… lelaki… itu? Dimana… dia?

Ifa dan Hasan #Part 3

#Ifa

Bandung malam hari. Kata orang, udara Bandung makin hari makin pengap dan panas akibat perusahaan otomotif yang ingin meraup keuntungan dari angka produksi kendaraan yang selalu
meningkat. Bagiku, udara Bandung tetap selalu membuat bulu kudukku berdiri, dingin hingga menyusup ke tulang. Hanya ada dua orang yang duduk dalam angkutan kota berwarna ungu ini. Keberadaan penumpang yang hanya dua orang ini seolah menjadi alasan bagi sang supir untuk melajukan mobil pabrikan Jepang ini dengan kecepatan maksimum. Hingga melewati Unisba, tak kunjung ada penumpang lain yang turut serta. Si supir mulai putus asa.

#Hasan

Aku masih terdampar diangkot depan warung Bu Imas. Salah satu tempat kuliner terkenal di kota Bandung. Warung yg tak pernah sepi peminat. Begitu hasil pengamatanku. Padahal disekitaran jalan Balong Gede saja, tempat warung ini berada, setidaknya ada empat bangunan berwarna kuning dan bertuliskan nama Warung Bu Imas didepannya. Dan empat-empatnya selalu ramai pembeli. Aku sendiri pernah dua kali makan siang di tempat ini. Kesimpulannya; Maknyuus.
 Maka, jika ke Bandung dan tidak mampir kewarung Bu Imas rasanya sangat disayangkan. Angkot Kalapa-Dago yg kunaiki sudah 20 menit nongkrong di jalan Balong Gede. Lewat pukul 21. 00. Mobil menuju terminal Dago di ujung jalan Ir. H. Juanda memang kurang semarak. Hal ini bisa dimaklumi karena toko-toko pakaian yg berderet disepanjang jalan Dewi sartika yg menghubungkan Masjid Raya Bandung dengan terminal Kalapa sudah mulai sepi. Penumpang baru akan ramai ketika memasuki lampu merah di depan Bandung Indah Plaza. Jam segini, pusat keramaian Bandung memang akan beralih ke kawasan Bandung Utara. Disana ada banyak tempat nongkrong yang asyik. Dago Plaza, bukit bintang, Resor Dago, Setia Budi dan Lembang adalah sebagaian dari destinasi favorit menghabiskan malam. Ban mobil angkot baru akan berputar, ketika suara di sebrang jalan memanggilku.
"Hasan...hasan....Turun!!"

Ifa dan Hasan #Part 2

#Ifa

Stasiun Padalarang. Setidaknya tinggal satu stasiun lagi sebelum aku menghirup kembali udara
Bandung. Sama sepertiku yang mulai terjaga, penumpang lain kembali menikmati perjalanan. Ada gairah yg tampak dari wajah-wajah mereka. Ya, kami akan menyesap manisnya Kota Kembang. Beberapa petugas restorasi melintas. Yang perempuan, sudah pias riasan wajahnya sementara yang laki-laki, lipatan kemejanya tak lagi licin. Mereka menghampiri satu persatu kursi, mengecek  tagihan para pemesan makanan. Dari lakunya, mereka terlihat lelah. Bagaimana tidak? Subuh tadi mereka sudah meninggalkan peraduan. Tiga kali sudah mereka bergerak bersama gerbong, dari Cirebon ke Bandung kemudian kembali ke Cirebon dan kini mengarah ke Bandung. Masih tersisa satu perjalanan lagi setelah kereta menepi di Stasiun Bandung. Tapi, di mana Hasan, lelaki muda-belia berseragam biru dengan senyum artifisial itu?

#Hasan

Suara azan membahana. Memanggil setiap jiwa yg terpanggil dan menggetarkan setiap manusia yang terpencil. Suaranya sendu namun merdu. Bersayap namun menyayat. Aku selalu suka muadzin di Masjid Raya Bandung. Tempat ibadah yang menjadi kebanggaan dan pengukuhan Islam di  Jawa Barat. Manusia mengular, berbaris satu persatu untuk berwudlu. Kusandarkan kakiku di pilar masjid lantai satu, lelah.
"Hayya 'alalfalaah, hayya 'alalfalaah". Seruan muadzin menyeretku kemasa lalu. Masa
dimana.aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku, Tangerang. Saat itu adalah
masa yg sulit. Teman SD, sahabat SMP dan gank SMA mengungkapkan kata yg seragam,
 "Kamu akan kesulitan di Bandung".
 Namun, restu orang tua adalah tiket yg bisa melegalisasi rencanaku, merantau. Ya..Kini, diantara pilar-pilar kokoh Masjid terbesar di Kota Bandung aku menyeret ragaku demi sebuah perantauan itu. Bekerja sebagai pramusaji Kereta Api Bandung-Cirebon.
"Laa ilaaha illallah". Adzan berakhir, aku bergegas berdiri. Kakiku lemas karena bekerja seharian. Jika seperti ini aku sering mengingat kata-kata Imam Syafi'i yg kupelajari ketika mengaji di surau Haji Lomri di samping rumahku.
"Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Pergilah, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat
dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang".
Aku menangis, tiba-tiba bayangan kedua orang tuaku terpantul dilangit-langit masjid.
Rabb, jadikan aku pengembara yg menemukan arah tujuannya dan bukan tersesat dalam nafsu serta kebodohannya.


Ifa dan Hasan #Part 1

#Ifa 
Suara itu memaksaku  membuka mata. Tepat ketika aku mengerjap untuk kedua kalinya, sosok itu sudah berdiri di hadapanku. Aku tak begitu terkejut. Namun pria yang bekerja di bagian restorasi itu tampak mengernyitkan kening sesaat. Aku menangkap rasa terkejutnya ketika menatapku. Tidak lama memang. Namanya Hasan. Aku membaca itu di kemeja birunya ketika kami bersitatap. Hasan, dengan keramahan petugas restorasi yang baru dilatih, berujar padaku, "Pesan makanannya, Mbak? Kalau pesan makan nanti tidurnya bisa nyenyak lho, Mbak!" Aku tersenyum saja mendengar ujarannya, sembari menggelengkan kepala. Hasan tak menuliskan apa-apa di notes kecilnya. Rekannya membawa baki yang berisi empat piring nasi goreng. Jelas belum ada yang memesan makanan pada mereka. Naga besi yang kunaiki hampir menempuh setengah perjalanan. Hasan dan rekannya sudah melangkah ke gerbong lain. Aku mencoba menutup mata kembali.


#Hasan
Lencana kugosok, seragam kurapihkan dan sedikit parfum beraroma melon tak lupa dioleskan dikiri kanan tanganku. "15 ribu aja kang". Itulah ucapan pak wawan dua hari lalu. Pedagang di depan masjid Raya Kota Bandung. Dia menjelaskan harga barang jualannya yg kini ada disaku kiri celanaku.
"Bismillah, disini pasti aku berjodoh". Ucapku dalam hati. Sambil menyungging senyum dan tatanan rambut klimis "belah" ke kiri. Dandananku tak jauh beda dengan David Beckam  pada
pembukaan Olimpiade London tempo hari.
 "Bismillah, disini aku pasti berjodoh". Langkah kedua kakiku tegap penuh percaya diri,
diiringi suara gemuruh orang-orang disekitar dan puluhan mata yang memandang membuat aura superstar semakin kentara. Bismillah, disini aku pasti berjodoh". Namun, satu sosok mengacuhkan diriku.
Ekspresinya datar dan matanya tertutup. Wow, dia tak terpengaruh kedatangan orang penting nan ganteng!!!
Sedikit kaget akan respons yg tak terduga, kucoba cara lain.
"Ehm...ehm...".Jurusku keluar.
Matanya terbuka, menatap 45 derajat kearah wajah, turun 10 derajat ke arah dada .
"Nasi goreng Mba? Biar nanti tidurnya lebih pulas", ucapku.
Dan….

tik...
tik...
tik...
tik...
tik...
tik....
tik...

tujuh detik kemudian matanya tertutup kembali. Hah, gerbong ini ternyata bukan jodohku. Tak ada satupun yang mau dan berminat membeli nasi goring yang aku dan temanku bawa. Jurus tebar pesona yang terbungkus senyum palsu ternyata tak mempan untuk berdagang. 

Kamis, 03 April 2014

Perbincangan dengan Mayor (Purn) Oetarjo di Yayasan 25 Januari 1946

Pada bulan September 1946 Kapten Oetarjo (tanda X) menerima kedatangan Kolonel M.Simbolon dan Let.Kol Kartawirana di lapangan terbang Kemayoran jakarta. Kedatangan kedua perwira dari Sumatera ini dalam rangka perundingan militer menjelang gencatan senjata Indonesia-Belanda pada bulan Oktober 1946.
 (Sumber: 
http://sejarahkita.blogspot.com/2011/10/mayor-oetarjo-telah-tiada.html)
Kisah ini sebenarnya sudah sangat lama, tapi belum sempat saya tulisakan. Kisah tentang sosok seorang pejuang yang membaktikan diri untuk bangsa dan negara. Kamis, 14 Oktober 2010, saya sempat berbincang dengan Mayor (Purn) Oetarjo di Yayasan 25 Januari, Jakarta. Selidik punya selidik, menurut Sejarawan Rushdy Hoesein, Perwira ini pernah bertugas  tahun 1945-1947 pada Kantor Penghubung Tentara jalan Cilacap Jakarta. Kemudian sempat pula bergerilya di Sumatera pada sekitar tahun 1948-1949 dengan jabatan Kepala Staf sub. Ter 7 Tapanuli dibawah panglimanya Alex Kawilarang. Dalam pertempuran sengit di sektor 3 dia tertembak dan tertawan. 
Ada banyak hal yang saya peroleh dari perbincangan selama kurang lebih dua jam itu. Salah satu diantaranya adalah manakala kakek  yang saya taksir berusia 90 tahunan itu berkata dengan tegas:
"Kamu harus tau dan sadar, bahwa orang indonesia itu tidaklah bodoh!!! Sebalikya jika melihat lebih dalam orang Indonesia itu sangatlah pintar"

Saya masih ingat betul beliau sangat ekpresif. Suaranya lantang, matanya tajam dan tangan kanannya sedikit terangkat. Beberapa saat saya sempat berfikir bahwa tentara tua ini akan menggunakan tangan rentanya untuk mencekik. Aku salah terka, ternyata tangan yang tak lagi kokoh itu membentuk sebuah kepalan tinju. Saya baru memahami bahwa ia  mencoba membuat gesture yang bisa menguatkan pernyataannya tadi. Beliau mencoba meyakinkan saya untuk optimis dan tidak malu menjadi orang Indonesia. Menurutnya, ketertinggalan yang bangsa ini alami saat ini bukanlah disebabkan karena kebodohan bawaan, tapi lebih karena ketidakmampuan memanfaatkan potensi sumber daya manusianya. Sebagian dari hal itu disebabkan karena sifat fesimis, minder dan rendah diri sehingga merasa dirinya akan kalah sebelum bertanding. Sifat-sifat seperti itu, menurutnya harus sesegera mungkin dihilangkan. Optimisme adalah modal awal bagi seseorang untuk maju.

Tak sempat saya bertanya atau berkomentar, mulutnya sudah mulai bercerita kembali. Beliau membeberkan bagaimana situasi Indoneia pada masa itu yang digambarkan sebagai kondisi no war no peace dengan pihak Sekutu, dalam hal ini Inggris. Situasi damai yang sebenarnya hanya kamuflase dari kata bersiap perang, dimana segala sesuatu harus dijalankan dengan cepat, tepat dan tegas. Tak ada kata santai atau berleha-leha. Segalanya harus disusun dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Tentara tidak tahu pasti mana kawan mana lawan.  Sungguh hal itu dijalankan oleh rakyat Indonesia dengan tabah dan semangat menggelora.
Tak lama, laki-laki berambut putih ini kembali menyembur; 
"Seseorang tidak akan pernah bisa maju jika tidak memiliki kepekaan terhadap sejarah. Orang yang tidak peka terhadap sejarah berarti orang tersebut tidak mengetahui jati dirinya. Bagaimana mau memajukan diri jika kita tidak mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya"

Sungguh sebuah pertemuan yang sangat berkesan. Sayang Foto kami berdua file-nya hilang. Dalam hati saya sangat berharap bisa memenuhi undangan beliau untuk silaturahim ke Karawaci, tempat dimana dirinya tinggal. Belum sempat niatan itu terpenuhi, satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Oktober 2011 jam 11.45 Mayor Oetarjo meninggal dunia.  Beliau dimakamkan di TMP Kalibata satu hari kemudian. 

Terima kasih atas perjuangannya, atas dedikasinya, atas kepeduliannya, atas keramahannya, atas bantuannya dan atas segalanya yang bapak berikan untuk bangsa ini. Semoga Allah menerima amal kebaikan bapak dan mengampuni segala kekhilafan yang pernah dilakukan. Amin

Senin, 17 Maret 2014

Lomba Menyanyi Diulang Tahun Rumah Dunia

Suasana pada saat lomba menyanyi
Serang, (16/04) Matahari membakar bumi, tapi 17 peserta lomba menyanyi nampak tidak memperdulikannya. Kompetisi yang menjadi bagian dari rangkaian ulang tahun Rumah Dunia ke-12 ini berjalan dengan meriah. Tanpa rasa takut anak-anak usia SD sampai SMP menunjukan kemampuannya. Ada dua lagu yang harus dibawakan tiap peserta. Pertama lagu wajib Mars Rumah Dunia dan yang kedua lagu pilihan peserta sendiri. Selain menyanyi, aneka lomba yang diadakan adalah menggambar, acting, mengarang dan membaca puisi. 
"Dengan cara seperti ini anak akan menemukan kembali dunianya", terang Jack Alawi (26) salah satu relawan dan panitia kegiatan ini.
Rumah Dunia sendiri merupakan sebuah komunitas literasi yang terletak di kampung Ciloang Kota Serang. Salah satu pendirinya adalah Gol A Gong, seorang jurnalis dan Penulis yang melejit namanya dengan karya Balada Si Roy. "Semoga di ulang tahun yang ke-12 ini Rumah Dunia semakin menginspirasi". Pungkas Gol A Gong menutup obrolan singkat kami.


Ayah Salwa

Semua mata terpaku, terkait dalam jaring yang tak bisa dilepaskan. Sedang sebagian lain, yang sedari tadi masih melihat kiri-kanan, mencoba mencari si sumber suara. Jelas akupun penasaran dengan kegaduhan ini. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Dan darimana suara ini berasal. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk menyadari ini semua. Tersangkanya ternyata seorang laki-laki paruh baya, berbadan gempal dan berwajah ceria. Bak sutradara kondang laki-laki ini memakai “topi copet” diatas kepalanya. Warnanya merah menyala. Didepannya berjumel anak-anak seusia sekolah dasar. Mata mereka lekat, tak mau berpaling barang sedetikpun. Sesekali wajah-wajah polos ini dihiasi senyum. Ekspresi lain sejurus muncul. Ada tawa lepas, gregetan, jeritan dan penasaran. Semuanya bagai melodi yang  menyimpulkan satu hal; antusiasme.

Kulihat di belakangku Yehan, cerpenis muda yang karya-karyanya membuatku merinding. Tentu bukan karena takut, tapi kemampuannya dalam mengolah konflik dan mendeskrifsikan perasaan dari tokoh dalam ceritanyalah yang membuatku kagum. Beberapa langkah di depan Intan, sahabatku dari Bandung dan satu orangnya duduk lesehan. Ia nampak menikmati betul apa yang ia lihat dan dengarkan.

“Sampai suatu hari, si pemuda tertidur dengan pulas”, laki-laki paruh baya itu melanjutkan ceritanya. Anak-anak semakin banyak yang mendekati. Caranya bercerita memang sungguh menarik. Ekspresinya bisa sangat kentara. Nyata betul bahwa ia sangat menghayatinya. Beberapa kali dia menampilkan tampilan wajah yang berbeda, disesuaikan dengan kedaan dan tokoh yang ia perankan.

Penasaran, aku bertanya-tanya siapa laki-laki ini. Selidik punya selidik ternyata laki-laki tadi  bernama Bambang Purwanto. Namun dirinya lebih suka disebut “Ayah Salwa”, sesuai dengan nama anak bungsunya, Salwa. Beliau adalah salah satu perserta yang mengikuti kegiatan Jambore Taman Bacaan Masyarakat (TBM) 2014. Dalam buku tamu, tertulis namanya sebagai pendiri TBM AS Lebakwangi, Kabupaten Bandung. “Tulisan –AS- pada –AS Lebakwangi- itu artinya Ayah Salwa”, belum sempat aku bertanya tentang makna penamaan ganjil itu, beliau sudah mendahului jawabnnya. Hah, benar-benar ayah yang penyayang. Namun, saya sendiri kurang suka menamakan lembaga dengan nama seseorang pendirinya. Saya khawatir lembaga itu nantinya terlalu identik dan memiliki ketergantungan besar terhadap yang bersangkutan. Tapi, biarlah. Ini hanya sekededar pendapat. Saya menyadari, secara alami, lembaga dan pendiri serta orang yang mengisinya adalah sebuah ekosistem yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Lembaga harus kuat dan mapan secara managemen agar ia tidak tergantung dengan salah satu orang. Sedangkan disisi lain seorang tokoh lembaga juga harus memiliki kualitas yang mumpuni. Karena tokoh/ manusia akan dipersepsikan sebagai produk dari lembaga itu. Jika tokoh/ manusianya bagus maka lembaganya akan dianggap memang menghasilkan orang-orang berkualitas.

Selain Ayah Salwa ada kurang lebih 100-an lebih peserta lain yang berkumpul dari seluruh Indonesia. Kegiatan Jambore TBM ini sendiri dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 23 Februari 2014 di TBM Rumah Dunia (RD) Serang. Pendiri RD adalah Gol A Gong, sosok yang sampai dengan tahun ini menjabat sebagai Presiden Forum TBM Indonesia. Sejujurnya saya sendiri tidak bisa mengikuti kegiatan ini secara penuh, tanggung jawab sebagai pendidik membuat saya hanya bisa mengikuti dua dari total empat hari kegiatan. Maka sejak awal kedatangan, saya sudah ber-azzam untuk menyerap sebanyak mungkin ilmu dan pengalaman baik dari pengisi acara maupun perserta lain yang hadir. Suatu penyesalan besar jika tidak memanfaatkan kesempata langka ini.  

TBM AS Lebakwangi sendiri termasuk dalam TBM yang aktif dan berprestasi. Dari buletin Lebakawangi Membaca saya mendapatkan informasi bahwa TBM ini mendapatkan juara ke-2 TBM terbaik se-Jawa Barat tahun 2013. Selain itu, ada sederet kegiatan edukatif lain selain tempat membaca yang dikembangkan. Salah satunya adalah belajar membaca, menulis dan menghitung (CALISTUNG) untuk tingkatan Pra SD. Grafik kedatangan pengunjunnyapun terus naik. Jika pada tahun 2012 ada kurang lebih 7000 pengunjung dan tahun 2013 bertambah sebanyak 2000 orang lagi. Maka sampai dengan Januari 2014 ini saja sudah menyentuh angka 1400 orang.

Aku bersyukur dan menyadari bahwa pertemuan dengan pendiri, pengelola dan relawan TBM se-Indonesia, terutama ayah Salwa membuatku semakin bersemangat mengembangkan TBM  Rumah Cerdas di kampung halaman, Tangerang. TBM yang masih sederhana dan kecil sebenarnya. Tapi bukankah yang besarpun berawal dari yang kecil terlebih dahulu?
Bismillah, aku optimis, dengan Ridha Allah niat suci ini akan terwujud.


Jumat, 07 Maret 2014

Enam Tahun Cinta

Malam ini, tepat enam tahun Bapak meninggalkan kehidupan fana. Saat itu pula (19 tahun) aku resmi menjadi kepala keluarga dr perkumpulan kecil yg terdiri dr Umi (43) aku dan Yulia (10) adiku. Tentu kejadian masih belum apa-apa dibandingkan cobaan orang-orang shaleh dimasa lalu yg pernah tercatat dalam Sejarah. Umi dan aku malam ini bernostalgia tentang adik dan Bapak. Umi cerita bahwa ketika usia tiga tahunan adiku (Saat ini sedang mondok di Bandung) sering membawa barang dagangan sejenis roti dan snack di toko milik keluarga untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannya (walau sebenarny sebaiknya ijin dulu). Umi berdoa semoga adiku tetap santun dan ramah pada setiap orang.

Sungguh aku tak berbagi ratapan dan penyesalan dalam cerita ini. Aku hanya rindu pada kalian. Pada Adiku di Bandung, Alm Siti Maryam tetehku, Alm Abdullah kakakku dan Alm Bapak.
Aku ingin menjadi anak dan adik yg baik bagi kalian. Mudah-mudahan Surga menjadi tempat reuni kita. Untuk Umi, aku mencintaimu tanpa syarat...

Sudah ABG

Adiku sedang bermain Pianika


Sebentar lagi adiku menginjak 17 Tahun. Usia yang cukup untuk dikatakan dewasa. Tapi aku tahu betul kedewasaanmu jauh melebihi usiamu. Caramu bersikap, berucap dan memahami orang lain jauh dari gambaran remaja seusiamu yg hidup di kota besar.
Adiku, entah kau ingat atau tidak, dulu jika aku shalat di rumah kau sering naik keatas punggung. mengendap, menungguku sujud, menempel dan cekikikan ditengah penderitaanku menahan beban gempalmu.

Apa kau ingat pula kejadian ketika kita (aku kelas 6 SD dan kau bayi dua tahun), menghidupkan mobil Bapak, memasukan gigi dan menabrakannya ke garasi? Besoknya Bapak kemudian uring-uringan mobilnya penyok.

Aku ingin mengobrol denganmu, sharing denganmu dan bertemu denganmu...
Maret ini Aa Insyaallah menengok ke Bandung.

rosyad_elbantani

Senin, 03 Maret 2014

Ini Tentang Teladan Dimuda Usia


Para Penghapal Qur'an Muda


Menjadi seorang teladan diusia muda itu sulit, tapi bukan mustahil. 

Wahai diri, jadikan mudamu sebagai seorang pencari dan pembagi ilmu.
Bukan pencuri dan pemberdaya khilaf.



wahài jiwa, jika kebijakanmu meneduhkan, maka lakukanlah. Namun jika kelemahanmu yg mengemuka, perbaikilah.



kita hidup karena yg Maha Hidup dan sedang berusaha untuk menghidupi kehidupan melalui kemurahan-Nya



rosyad_elbantani

Senin, 24 Februari 2014

Kampungan Bukan Berarti Memalukan


Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku Next Station yang saya dapatkan dari kegiatan Jambore Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Indonesia di Rumah Dunia Serang, Banten. Dalam buku catatan perjalanan yang mengambil setting di Singapura dan Malaysia ini saya bergetar membaca  tulisan dari salah satu penulisnya, yaitu ibu Ida Fitri Lusiana.

Penulis yang merupakan seorang Kepala PAUD ini menuliskan rangkaian kalimat yang penuh nilai filosopis. Salah satu diantaranya adalah judul tulisan diatas. Saya menyadari bahwa selama ini kadangkala kita menilai baik buruknya suatu budaya dari satu sudut pandang. Padahal jelas cara seperti ini akan mengaburkan nilai-nilai pemahaman dan kepercayaan budaya asal. Belum tentu budaya yang dianggap rendah dari satu budaya dianggap seperti itu oleh penganutnya. Pun sebaliknya. Sebagai contoh budaya makan menggunakan jari tangan tidak bisa disebut lebih rendah oleh orang-orang yang berbudaya memakai sendok dan garpu.

Epilog dari ini semua adalah kita harus belajar bagaimana sebuah budaya terbangun dari sebuah masyarakat dan tidak memaksakan dan memberikan komentar terhadap budaya itu sebelum kita faham dan meletakan diri kita tidak hanya sebagai orang luar tapi juga bagian dari orang yang melakukan budaya yang bersangkutan. Sebagaimana yang dituliskan oleh Khefti (2013) bahwa  tinggi rendahnya nilai pada suatu budaya bukan lantas budaya yang satu lebih baik dari pada budaya yang lain, karena baik tidaknya suatu kebudayaan hanya orang-orang di dalam kebudayaan itulah yang tahu.

rosyad_elbantani


Selasa, 11 Februari 2014

Tentang Pembelaan Fitron (juru bicara keluarga Atut) di Rumah Dunia

Fitron (baju biru) saat diwawancara
Setidaknya ada dua alasan ketika seseorang/ kelompok berdekatan dengan pihak lain. Pertama, dikarenakan adanya faktor kesamaan (tujuan, hobi dll) sehingga dia merasa nyaman berdekatan dan mengusung visi, misi dan usaha yang seragam. Kedua, karena ingin memanfaatan saja. Fitron sebagai juru bicara (jubir) keluarga Atut (Gubernur Banten) merupakan tumpang tinding dua hal ini. Disatu sisi dia memanfaatkan pihak penguasa, kedua dia juga punya visi korup!, atau setidaknya terindikasi korup. Bahasa Fitron dalam pembelaannya di Rumah Dunia Serang pada November 2013 lalu sungguh bagus dan berbahaya. Jika tidak disikapi dengan benar, hal ini bisa menggiring pada keterbalikan logika. Kesimpulannya, tujuan Fitron menjadi jubir bukan semata pekerjaan, tapi juga ia melindungi dirinya agar tidak terseret dalam kasus. Kalaupun alasan dia hanya karena pekerjaan, sebagai mantan aktifis harusnya dia paham bahwa gaji yang dia peroleh merupakan hasil money laundry